Judul Buku : Sang Patriot - Sebuah Epos Kepahlawanan
Penulis : Irma Devita
Penerbit : Inti Dinamika Publisher
Penyunting : Agus Hadiyono
Design sampul : WinduUKMJem
Jumlah Halaman : 280
Cetakan pertama : Februari 2014
ISBN 10 : 978-602-14969-0-9Cetakan pertama : Februari 2014
Perempuan yang terlalu pintar akan sangat menakutkan bagi suaminya.
Kalimat inilah yang menjadi andalan Mas Tajib, ayah Rukmini, saat putri tertuanya itu menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang Meester in de Rechten, ahli hukum wanita yang masih langka saat itu. Di saat penduduk asli Indonesia hanya sanggup berharap untuk mendapatkan kesempatan belajar membaca dan menulis di sekolah ongko loro, Rukmini cukup beruntung bisa bersekolah di Hollands Indische School (HIS), sekolah dasar yang diperuntukkan untuk peranakan Belanda dan kaum ningrat saja.
Rukmini merupakan gadis yang sangat cerdas, selalu ditunjukkannya prestasi belajar tertinggi kepada ayahnya. Ayah yang sangat dikagumi sekaligus ditakutinya. Bahkan baru mendengar suara sandalnya yang melintas di ujung koridor rumah saja, Rukmini dan adik-adiknya meringkuk ketakutan (hal. 21).
Takut dan patuh, gabungan perasaan yang cukup membuat batin Rukmini bergejolak saat ayahnya memilihkan sekolah keputrian Van De Venter untuknya. Padahal Rukmini sangat ingin melanjutkan sekolah di tempat lain yang sangat mendukung ambisinya untuk menjadi ahli hukum. Mimpinya untuk kuliah hukum di Universitas Leiden tampaknya tinggal angan-angan kosong saja.
Tak hanya Rukmini yang memiliki semangat belajar luar biasa. Di tempat lain, seorang pemuda bernama Sroedji pun memiliki mimpi yang sama tentang tercukupinya kebutuhan pendidikan. Bedanya, Rukmini berasal dari keluarga berada, ayahnya adalah guru OSVIA (sekolah calon pamong praja), sedangkan Sroedji adalah anak pedagang biasa, yang keberadaannya sering tidak dianggap oleh para petinggi sekolah. Bahkan untuk memasukkan Sroedji yang ngotot luar biasa untuk bersekolah di HIS, sang ibu rela minta tolong kepada kakak iparnya yang keturunan ningrat untuk menjadi penjamin masuknya Sroedji di sekolah itu.
Sroedji pun rela mengorbankan dana naik hajinya untuk kepentingan sekolahnya. Hasan, ayahnya, telah menabung sejak lama untuk keberangkatan haji mereka sekeluarga. Tekad kuat Sroedji untuk melanjutkan sekolah telah meluluhkan pendirian ayahnya yang semula sedih karena anak lelakinya ini tak ikut serta menunaikan ibadah haji.
Kekuatan tekad Sroedji untuk terus sekolah inilah yang mempertemukannya dengan Rukmini. Rukmini yang keras kepala, yang menolak semua lelaki yang dijodohkan padanya, memberikan satu persyaratan khusus. Calon suaminya haruslah bisa berbahasa Belanda. Trik ini dipergunakannya untuk mendapatkan lelaki yang berpendidikan paling tidak sama dengannya.
Sroedji yang melanjutkan pendidikan dasarnya hingga ke Ambactsleergang (sekolah kejuruan bidang pertukangan, sekarang lebih dikenal sebagai sekolah teknik) tentu saja memenuhi persyaratanan yang diajukan Rukmini ini. Sebenarnya perkenalan kedua anak muda ini karena murni perjodohan, semula mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Untung saja setelah ijab dan bertemu muka, mereka berdua merasa tertarik satu sama lain.
Kehidupan cinta kedua insan muda ini diwarnai dengan berbagai pergolakan perjuangan di tanah air, baik saat merebut kemerdekaan di tahun 1945 hingga masa mempertahankan kemerdekaan. Ingkar janjinya Belanda di setiap perjanjian gencatan senjata membuat kehidupan rakyat Indonesia tidak menentu. Berjuang, mengungsi, terpisah dari keluarga, kekurangan pangan dan sandang, menjadi menu sehari-hari rakyat. Tak terkecuali bagi keluarga Sroedji dan Rukmini.
Sroedji yang pada masa pendudukan Jepang mengikuti pendidikan kemiliteran dalam Pembela Tanah Air (PETA) rupanya memiliki mental pemimpin yang sangat mumpuni. Dia sanggup memimpin pasukannya untuk terus melakukan perlawanan melawan Belanda yang pada tahun 1947 kembali datang ke Indonesia dan menguasai berbagai tempat di Jawa Timur, termasuk Jember tempat tinggal Sroedji dan Rukmini. Dari semula menjadi Mantri Malaria di Rumah Sakit Kreongan, Sroedji menjelma menjadi pemimpin yang tegas dan berwibawa, selalu sanggup meletupkan semangat juang anak buahnya.
Dua kali Agresi Militer yang dilancarkan Belanda, membuat keluarga bahagia itu harus sering terpisah. Pengorbanan yang sangat tidak mudah dilakukan oleh Sroedji dan Rukmini. Apalagi mereka telah dikaruniai beberapa orang anak. Bahkan saat hendak melahirkan anak keempatnya, Rukmini terpaksa mengungsi dengan berjalan kaki hampir sebulan lamanya dari Jember menuju Kediri. Perjuangan seorang ibu demi keselamatan anak-anaknya yang menjadi target incaran Belanda, dan perjuangan seorang istri pejuang yang mendukung langkah suami tercinta.
Berbagai kesulitan mendera kedua sejoli itu, juga mendera negeri tercinta Indonesia. Perjuangan luar biasa dari para penjaga kemerdekaan ini dinodai oleh berbagai pengkhianatan yang terjadi di dalam pergerakan. Musuh dalam selimut. Banyak informasi penting berkaitan dengan perjuangan bisa terendus oleh Belanda. Segala mara bahaya pun terus mengancam para pejuang beserta keluarga mereka.
Sanggupkah Sroedji, Rukmini dan keempat anaknya yang masih kecil-kecil itu bertahan dalam gempuran kekejaman musuh dan pengkhianat bangsa?
*****
Novel epos kepahlawanan karya Mba Irma Devita ini sungguh menggairahkan kembali semangat juang yang sepertinya sedang luntur di diri kawula muda sekarang. Segala macam istilah galau dikumandangkan sebagai 'jati diri' anak muda. Padahal di jaman perjuangan dulu, anak muda lah yang menjadi tulang punggung pergerakan. Karena pengorbanan mereka pula lah saat ini kita bisa menikmati kebebasan di berbagai hal. Bebas bersekolah, bebas berpendapat dan bebas mau bekerja apa saja. Hal-hal yang di jaman perjuangan sangat mustahil untuk didapatkan. .
Pertama mulai membaca buku ini, saya sangat terkesima dengan prolognya yang nonjok. Rasanya tak ingin melanjutkan membacanya. Buncahan kengerian seakan membuat kuduk saya meremang dan lemas sesaat. Namun rasa penasaran saat membaca cover belakang buku ini membuat saya terus melanjutkannya.
Benar juga, mengapa saya harus takut? Toh saya cuma membaca kisah luar biasa ini. Bagaimana pula jika harus mengalami hal seberat yang dialami oleh Rukmini. Saya perempuan, sama dengan Rukmini, kami hanya hidup di era yang berbeda, dengan jalan hidup yang mungkin pula berbeda. Kenapa saya tak sanggup menghadapi hidup yang belum tentu seberat Rukmini di buku ini?
Saya kagum luar biasa pada orang-orang istimewa macam Rukmini dan Sroedji. One of a kind. Bila di masa perjuangan kemerdekaan saja ada orang istimewa seperti mereka ini, tentunya di era modern ini banyak juga manusia pilihan macam mereka. Orang yang tidak mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum. Sungguh bacaan yang layak saya sarankan untuk mereka yang mulai melemah semangat juang dan cinta tanah airnya. Mereka yang bekerja habis-habisan menjadi kuli, dewan yang terhormat di sana, para murid sekolah menengah yang sedang kecanduan bokep dan galau, para eksekutif muda yang mendewakan uang dan gadget, siapa saja layak membaca buku ini untuk meluruskan kembali niat hidup agar berguna bagi sesama.
Dibalik semua kelebihan buku ini, terus terang beberapa kali saya mengalami kebingungan. Bolak balik harus kembali ke halaman depan untuk mengulang kembali runtutan cerita. Seperti di halaman awal, tepatnya halaman 3 yang diberi judul Kampung Kauman, Gurah - Kediri, 1923. Saya pikir akan menceritakan kisah di tahun tersebut, ternyata malah panjang lebar mengisahkan Airlangga dan Calon Arang. Dilanjut dengan perjalanan cinta Hasan - Amni. Sekelebat saya berpikir, jangan-jangan Airlangga hidup di tahun 1923. Ah, mungkin saya saja ya yang kurang cepat menangkap sinyal-sinyal kisah dari penulis :)
Berbagai istilah kemiliteran dalam Bahasa Jepang juga membuat saya bolak-balik menuju ke Daftar Istilah di halaman 254. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana penulis ini harus studi referensi sejarah untuk menuliskan kisah dengan warna warni adegan perang yang sedemikian detail. Dari sekian istilah dalam bahasa negeri matahari itu, hanya satu yang saya ingat : Kakero. Itupun saya tak tau apa artinya :)
Saya kagum luar biasa pada orang-orang istimewa macam Rukmini dan Sroedji. One of a kind. Bila di masa perjuangan kemerdekaan saja ada orang istimewa seperti mereka ini, tentunya di era modern ini banyak juga manusia pilihan macam mereka. Orang yang tidak mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum. Sungguh bacaan yang layak saya sarankan untuk mereka yang mulai melemah semangat juang dan cinta tanah airnya. Mereka yang bekerja habis-habisan menjadi kuli, dewan yang terhormat di sana, para murid sekolah menengah yang sedang kecanduan bokep dan galau, para eksekutif muda yang mendewakan uang dan gadget, siapa saja layak membaca buku ini untuk meluruskan kembali niat hidup agar berguna bagi sesama.
Dibalik semua kelebihan buku ini, terus terang beberapa kali saya mengalami kebingungan. Bolak balik harus kembali ke halaman depan untuk mengulang kembali runtutan cerita. Seperti di halaman awal, tepatnya halaman 3 yang diberi judul Kampung Kauman, Gurah - Kediri, 1923. Saya pikir akan menceritakan kisah di tahun tersebut, ternyata malah panjang lebar mengisahkan Airlangga dan Calon Arang. Dilanjut dengan perjalanan cinta Hasan - Amni. Sekelebat saya berpikir, jangan-jangan Airlangga hidup di tahun 1923. Ah, mungkin saya saja ya yang kurang cepat menangkap sinyal-sinyal kisah dari penulis :)
Berbagai istilah kemiliteran dalam Bahasa Jepang juga membuat saya bolak-balik menuju ke Daftar Istilah di halaman 254. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana penulis ini harus studi referensi sejarah untuk menuliskan kisah dengan warna warni adegan perang yang sedemikian detail. Dari sekian istilah dalam bahasa negeri matahari itu, hanya satu yang saya ingat : Kakero. Itupun saya tak tau apa artinya :)
tanda tangan penuh cinta dari penulis |
Atau mungkin hidup jadi pengkhianat itu lebih menyenangkan? Ih jangan sampai ya. Saya gemas sekali saat di halaman 201 ada sepenggal kalimat yang diselipkan penulis dalam keriuhan persiapan pertempuran :
Wajahnya yang biasa diatur datar dan ramah menampakkan seringai dingin dan mengejek. Wajah sang durna !
Sampai penasaran banget saya saat tiba di halaman ini. Siapa kiranya ya yang menjadi durna di dalam kisah epos kepahlawanan Mochammad Sroedji ini. Cara penuturan yang terlalu deskriptif dari penulis di hampir sebagian besar kisah tak membuat surut minat saya untuk terus berusaha menguak misteri si durna ini. Hih, orang macam ini harus dilenyapkan dari perjuangan. Tidak dulu, tidak sekarang, no way for traitor :(
Tauladan dari Sang Patriot, yang tak lain dan tak bukan adalah kakek dari si penulis, sangat layak untuk dilanjutkan. Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayati dan penduduknya. Sepatutnya lah nilai perjuangan yang dulu dikobarkan oleh Mochamad Sroedji jangan dilupakan begitu saja. Lanjutkan. Teruskan.
Satu hal penting lagi. Peran perempuan sangat berarti dalam perjuangan kemerdekaan masa itu. Tabah, perkasa sekaligus keibuan, sosok Rukmini yang sangat menginspirasi. Dalam balutan keterbatasan masa perjuangan, ia tetap menjulang bak batu karang. Bertahan dalam gempuran dan kerasnya perang. Demi cintanya yang tiada batas pada pertiwi dan kekasih hati.
baca novel ini jadi ngefens sama Rukmini
ReplyDeleteMak Uniek, Rukmini dan Durna..hehehehe..sayang aku kelewaaat DLnya euuy...sukses kontesnya yaaa...itu penggalan Airlangga et Calon Arang memang mantaaap.....kebayang adegan jadulnya mak..dengan dikau dalam pakaian wayang huahahahaha...ah, jadi kangen mak Unieeek :D...
ReplyDeleteTerima kasih atas partisipasinya :)
ReplyDelete