You only live once... Pernahkah teman-teman menyadari betapa mudahnya generasi jaman now mengatakan hal ini? Hidup memang perlu dinikmati selagi masih bisa, namun model kenikmatan mana yang hendak kita pilih, yang maksimal hingga semua sumber daya kita serap kah?
Pemikiran ini hinggap di kepala ketika merasakan sentuhan lembut dari tuturan kalimat yang diutarakan oleh Ibu Amanda Katili Niode, Ph.D., seorang pegiat lingkungan. Beliau lebih memilih istilah pegiat harmoni bumi sebagai padanan kata yang lebih menyentuh. Sentuhan lembut ini saya dapatkan saat membaca buku berjudul Dalam Dekapan Zaman, Memoar Pegiat Harmoni Bumi yang ditulis beliau untuk mengisahkan secara runtut berbagai langkah mendekap bumi sepanjang perjalanan karyanya.
Menyentuh Kesadaran Tentang Arti Bumi Bagi Manusia
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَّهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِۗ صُنْعَ اللّٰهِ الَّذِيْٓ اَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍۗ اِنَّهٗ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَفْعَلُوْنَ
Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Mahateliti atas apa yang kamu kerjakan. (QS An Naml ayat 88)
Selama ini mungkin kita tidak menyadari bahwa Bumi itu tak sekadar tempat untuk tinggal. Bahkan rumah, yang memang memiliki fungsi untuk tempat tinggal, harus selalu dirawat, tak bisa kita hanya berdiam saja di dalamnya tanpa melakukah ikhtiar untuk menjaga.
Bagaimana jika manusia mulai memasukkan ke dalam kerangka berpikirnya bahwa bumi itu bukan hanya tempat tinggal, tetapi sebuah entitas yang keberadaannya memiliki nilai sejati yang erat kaitannya dengan nasib manusia. (Dalam Dekapan Zaman, hal. 2)
Kutipan ayat An Naml ayat 88 (sebagai koreksi, di buku tertulis ayat 98) dan juga penggalan kalimat di awal buku Dalaman Dekapan Zaman Memoar Pegiat Harmoni Bumi karya Ibu Amanda Katili Niode, Ph.D. ini mengantarkan pemahaman yang lembut bagaimana manusia sebaiknya berkasih sayang dengan Bumi.
Kelembutan kasih Ibu Amanda yang ditularkan pada pembacanya ini, rupa-rupanya merupakan bukti berhasilnya ditanamkan rasa cinta kasih kepada beliau sejak kecil. Sang ayah, John Ario Katili, teramat dekat dengan beliau, bahkan menunjukkan respek yang tinggi kepada putrinya. Pernah sang ayah menanyakan padanya padanan kata yang tepat untuk awan. Amanda kecil meneguhkan kata "mega" sebagai pengikat kemelekatannya dengan ayah, yang ternyata di kemudian hari menjadi landasan kokoh dalam menekuni profesi sebagai pegiat harmoni bumi.
Betapa seorang ayah menghargai pendapat putri kecilnya, membuat hati saya menghangat. Sepotong kata mega tadi digunakan sang ayah menjadi Laksana Beraraknya Mega, judul kumpulan tulisan ilmiah populer J.A. Katili tentang pengetahuan Bumi.
Menyentuh kesadaran ternyata bisa dimulai dari praktik menghargai pendapat dan secara konstan mengajak berbuat baik. Bahkan anak kecil pun akan mampu merasakan hal ini, sehingga ambang kesadarannya akan terbuka sejak dini. Termasuk kesadaran manusia pada arti Bumi.
Saya jadi membayangkan, coba saja dulu bapak mengajak saya untuk berdiskusi banyak hal tentang dunia kedokteran, menyodorkan berbagai pustaka menarik tentang ilmu kedokteran, atau bahkan berbincang tentang profesi dokter, bisa jadi saya akan memiliki tekad bulat untuk belajar hal-hal berbau kedokteran dan mengikuti mimpi beliau untuk memiliki anak yang berprofesi sebagai dokter.
Namun takdir berkata lain. Bapak saya (kini beliau sudah wafat) bukanlah J.A Katili yang menawarkan pendekatan kemelekatan kepada anaknya. Alhasil pemahaman saya tentang apa yang dicita-citakannya pun tidak 'nyampe'. Yang saya lakukan selalu melawan beliau karena menganggap menjadi dokter itu adalah tuntutan, bukan pilihan yang pantas diperjuangkan. Duh, malah curcol ya teman, maafkan...
Ternyata, pendidikan tuh membawa dampak positif berjangka panjang ketika berkarir. Amanda Katili muda memilih kuliah di Intitut Teknologi Bandung dan memilih Departemen Biologi sebagai konsentrasi pendidikannya. Lalu lanjut S2 di Washington D.C., American University, College of Arts & Sciences dengan studi interdisipliner pada Ecology & Environmental Management.
Selepas S2, sang suami mendukung beliau untuk langsung melanjutkan S3 jika tidak ingin kalah persaingan kerja di kemudian hari. School of Natural Resources, University of Michigan Ann Arbor pun menjadi pilihan Ibu Amanda untuk melanjutkan pendidikan dan memilih bidang sumber daya alam dengan konsentrasi pada Manajemen, Perencanaan dan Kebijakan.
Amanda Katili Niode meraih gelar PhD-nya pada usia 31 tahun. Terhitung sangat muda untuk usia seorang doktor pada masa itu karena rata-rata yang mengambil pendidikan doktoral sudah berusia 50 tahun. Namun berkat dukungan suami dan ibundanya, Ibu Amanda sukses meraih gelar PhD ini.
Gelar PhD yang diperoleh ternyata membuka banyak peluang di dunia pendidikan. Meskipun sudah bekerja di BPP Teknologi, Ibu Amanda juga menjadi dosen luar biasa di Sekolah Pascasarjana Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia. Selain itu beliau juga menjadi Adjunct Professor di University of Nevada Reno, USA pada Pusat Ilmu dan Teknologi Lingkungan.
Melalui kiprahnya di dunia pendidikan dan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan perubahan iklim, Ibu Amanda Katili Niode telah berbagi dengan banyak pihak terkait gerakan untuk mencintai bumi. Pengetahuan teknis dan analitis digunakan oleh beliau untuk mengidentifikasi, menganalisis dan memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang ada, mencakup isu seperti polusi, penggunaan sumber daya, konservasi keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, maupun sosialisasi dan komunikasi. (hal. 100)
Semangat Ibu Amanda untuk terus belajar dan terus mencari tahu ini menurut saya tak lepas dari metode pendekatan sang ayah. Pola pendekatan dan transfer ilmu di keluarga Ibu Amanda inilah yang saya amati dari paparan beliau di sepanjang buku. Apa yang dilakukan oleh ayahanda beliu ini bisa diteladani. Keberhasilan membuka kesadaran manusia tentang arti bumi dalam kehidupannya, bisa mulai dilakukan oleh para orangtua semenjak anaknya masih kecil.
Sesederhana teladan saat membuang sampah pada tempatnya, seperti yang dilakukan bapak saya dulu. Hal ini melekat kuat pada diri saya, sehingga rasanya gelisah sekali ketika hendak membuang bungkus makanan, namun tak menemukan satu pun tempat sampah di sekitar. Untuk yang satu ini, empat jempol untuk almarhum bapak. Love you, Pak.
Saat terbuka kesadaran tentang arti bumi dalam kehidupan, diharapkan nantinya anak-anak muda tak akan lagi sekadar bilang "you only live once" atau lebih ngetop dengan istilah YOLO. Yup, hidup memang hanya sekali, namun memaknai hidup dengan berkesadaran akan pentingnya alam sekitar lah yang menjadikan kita sebagai sang penjaga kehidupan bagi Bumi. Bumi yang selama ini kita pijak dan kita nikmati semua sumber dayanya.
Setiap tindakan kecil membawa dampak besar dalam jangka panjang. (Dalam Dekapan Zaman, hal. 363)
Peran Kaum Muda untuk Menjaga Harmoni Bumi
Sejalan dengan tuntutan hidup yang kian menghimpit, manusia pun acap melakukan berbagai tindakan agar dirinya tidak terjepit. Pekerjaan apapun dilakukan demi menyambung hidup.
Kondisi semacam ini tentunya banyak dialami oleh orang dari beragam profesi. Minimnya pemahaman akan arti bumi yang berpadu dengan beratnya tuntutan hidup, membuat manusia sering menerabas batas ketercukupan dari alam semesta.
Tindakan kriminal lingkungan pun terjadi di berbagai tempat. Badan Lingkungan PBB (UNEP) melakukan kajian tentang lima jenis tindakan kriminal lingkungan yang paling umum terjadi di dunia, yaitu perdagangan satwa liar, penangkapan ikan ilegal, pembalakan liar, pencemaran lingkungan dan penambangan ilegal. Bahkan pada faktanya, kegiatan ilegal ini sangat menguntungkan dengan risiko yang relatif rendah bagi para pelakunya. (hal. 102)
Lalu, siapakah yang seharusnya menjadi penanggung jawab permasalahan lingkungan ini?
Jika di masa lalu masalah lingkungan hidup menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya, kini peranan pelaku di luar unsur pemerintah (aktor non-negara) semakin krusial. Aktor non-negara ini meliputi kota, wilayah dan entitas subnasional lainnya, dunia usaha, masyarakat sipil, masyarakat adat, perempuan, pemuda dan perguruan tinggi.
Begitu besarnya tantangan untuk mencintai bumi ini sehingga diperlukan kepedulian dari semua unsur negara, termasuk peran kaum muda. Ibu Amanda secara khusus mengangkat kisah kolaborasinya bersama generasi muda pada Bab 11.
Kaum muda punya keunikan untuk berkontribusi terhadap lingkungan, karena energi mereka tak terbatas, kreativitas tinggi, tekad serta semangat tak tergoyahkan. (hal. 328)
Ada beberapa peran yang dapat dijalankan pemuda dalam menjaga bumi ini:
- Inovator keberlanjutan, baik itu menciptakan teknologi yang mendukung energi bersih, mengembangkan metode pertanian berkelanjutan, atau merancang produk ramah lingkungan
- Pemimpin gerakan yang menuntut kebijakan yang lebih hijau dan adil dengan mengorganisir komunitas, memimpin diskusi dan menantang status quo.
- Pendidik lingkungan, baik di ruang-ruang kelas, kampus, atau komunitas, dengan membagikan pengetahuan tentang keberlanjutan, mengajarkan pentingnya menjaga alam, dan menginspirasi generasi berikutnya. (hal. 329)
Ragam aktivitas mendekap bumi yang melibatkan kaum muda dipaparkan secara menarik oleh Ibu Amanda dalam buku ini. Salah satunya adalah Youth Climate Summit pada tahun 2019, dimana salah satu peserta dari Indonesia yang bernama Melati Wijsen menjadi pembicara pada sesi solusi berbasis alam. Sejak usia 12 tahun, Melati bersama adiknya Isabel menginisiasi gerakan Bye Bye Plastic di Bali.
Kuliner Lokal Dalam Dekapan Bumi
Selain rangkaian aktivitas nasional dan internasional terkait perubahan iklim, Ibu Amanda juga mengupas berbagai hal lain yang tak kalah menariknya. Salah satunya terkait dengan tema pangan tradisional. Lho, apa hubungannya ya?
Setiap makanan memiliki jejak karbon yang berbeda, sehingga pilihan makanan dan pola makan kita dapat mengurangi dampak perubahan iklim.
Jejak karbon makanan didefinisikan sebagai total jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan sepanjang siklus hidup makanan, mulai dari produksi, pengolahan, transportasi, penyimpanan, hingga konsumsi dan pembuangannya. (Dalam Dekapan Zaman, hal. 296)
Saya pun jadi tahu istilah climate-smart eating atau pola makan cerdas iklim. Terminologi ini mengarah pada anjuran bagi masyarakat untuk mengurangi kandungan gas rumah kaca pemicu perubahan iklim dari makanan yang dipilihnya. Pola makan cerdas iklim memperbanyak konsumsi biji-bijian, buah-buahan dan sayuran, serta mengurangi daging. Dengan hal ini, emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan lebih sedikit. Hal lain yang bisa kita lakukan adalah dengan membeli lebih banyak produk lokal dengan transportasi yang tidak terlalu jauh. (hal. 307)
Terkait pola makan cerdas iklim ini, ada istilah susut pangan (food loss) yang mengacu pada penurunan massa pangan. Susut ini terjadi pada tahap produksi, pasca panen dan pemrosesan rantai makanan. Yang menyedihkan tuh ya, hal ini sebagian besar terjadi di negara berkembang. Susut pangan jelas-jelas merupakan pemborosan sumber daya yang digunakan dalam produksi seperti lahan, air dan energi.
Di samping itu, upaya untuk mengurangi limbah pangan (food waste) pun tak kalah pentingnya. Limbah pangan mengacu pada pembuangan makanan yang sebenarnya masih dapat dimakan. Biasanya hal ini terjadi pada tataran bisnis ritel dan konsumen, dan terjadi di negara maju.
Sekitar sepertiga dari semua pangan yang diproduksi untuk konsumsi manusia terbuang percuma. Diperkirakan jejak karbonnya sekitar 3,3 miliar ton karbondioksida yang setara dengan 8 persen emisi gas rumah kaca global sebagai penyebab krisis iklim. Serasa tertohok ketika membaca uraian di buku ini, bahwa menurut Indeks Keberlanjutan Pangan dari Economist Intelligence Unit, beberapa tahun lalu Indonesia adalah pembuang makanan terbesar kedua di dunia dengan hampir 300 kg makanan per orang setiap tahunnya.
Hiks... nangis kan jadinya membaca fakta ini. Di saat negara masih menggalakkan upaya menekan kejadian stunting pada anak-anak, kok malah sebagian besar masyarakat Indonesia buang-buang makanan. Atuh gimana lah itu.
Selain mengurangi food loss dan food waste tadi, apa lagi yang bisa kita lakukan?
Tahu nggak, membeli produk pangan lokal tuh berarti membantu petani, nelayan dan perimba dalam mempertahankan mata pencaharian. Selain itu, kita bisa menyumbangkan andil dalam pelestarian akar kuliner, seperti tanaman tradisional, resep, serta budaya tempat masakan tersebut berasal. Tradisi kuliner yang ada di Indonesia dapat terus kita jaga dengan penuh kebanggaan.
Amanda Katili Niode berasal dari Gorontalo, sehingga usaha melestarikan kuliner daerah pun dilakukannya untuk mendukung daerah asal beliau. Melalui Omar Niode Foundation, Ibu Amanda melakukan banyak terobosan untuk mengangkat kuliner tradisional Gorontalo.
Pada tahun 2015 terbitlah buku Trailing Taste of Gorontalo yang berisi kumpulan tulisan dalam Bahasa Inggris dan rangkaian potret budaya dan wisata kuliner Gorontalo. Buku ini memenangkan beberapa penghargaan, salah satunya sebagai Best in the World - Gourmand World Cookbook Awards 2016 untuk kategori Asian Cuisine from Asian Books.
Ibu Amanda bahkan mendapatkan undangan untuk hadir di Frankfurt Book Fair dan mempresentasikan buku tersebut. Pendiri Gourmand Award memandang perlu ada yang mensosialisasikan Gorontalo, yang waktu itu dianggap sebagai destinasi yang belum dikenal.
Lalu pada tahun 2020, buku ini kembali mendapatkan penghargaan di Paris sebagai Best Food Heritage Book di antara buku-buku terbaik yang terbit pada 1995-2020. Sedangkan pada tahun 2023 di Riyadh, buku ini kembali meraih penghargaan sebagai Best Food Heritage Book dalam kategori Silk Road Life Style.
Selain kuliner dari Gorontalo, Omar Niode Foundation juga mengangkat cita rasa khas lainnya dari Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara dan pulau-pulau kecil lainnya yang berada di sekitarnya. Kawasan ini biasa dikenal sebagai Kawasan Wallacea. Ragam kulinernya sungguh kaya. Ada sup hitam dengan keluak sebagai salah satu bahannya, pantollo pamarrasan dari Toraja, pallu kaloa dan sop konro dari Makassar, kapurung dari Suku Bugis, dan lain-lain.
Saya senang sekali ketika membaca ragam kuliner daerah di Bab 10 ini. Sesuai dengan kebanggaan yang selama ini saya rasakan tentang kekayaan kuliner Nusantara. Di tanah kelahiran saya (Jawa), ratusan jenis masakan tradisional telah menandai megahnya warisan nenek moyang dalam dunia kuliner. Ada lodeh, sambal goreng krecek (kulit sapi), gudeg, brongkos, garang asem dan masih banyak lagi lainnya. Masakan-masakan ini menimbulkan kerinduan yang pekat tatkala kita pergi jauh dari tanah air. Teman-teman yang sering bepergian ke luar negeri tentu merasakan hal ini bukan?
Menuliskan Kisah, Mengabadikan Perjalanan Hidup
Ada satu hal yang ingin saya berikan penekanan terkait buku Dalam Dekapan Zaman - Memoar Pegiat Harmoni Bumi : mengapa harus baca buku ini?
Saya baru menyadari, bahwa selain membuka banyak wawasan terkait perubahan iklim dan isu-isu lingkungan lainnya, dengan membaca buku ini kita bisa menarik pembelajaran tentang pentingnya mencatat beragam aktivitas kita dalam keseharian.
Mungkin memang tidak seprofesional Ibu Amanda yang memiliki banyak sekali aktivitas yang menginspirasi. Namun paling tidak, dengan menuliskan berbagai hal yang dilakukan, kita bisa mengabadikan perjalanan hidup.
Apalagi bagi seorang blogger yang terbiasa menuangkan karya dalam wujud tulisan, berbagi manfaat dan aneka kebaikan dalam tulisan tersebut tentunya menjadi dambaan. Sekecil biji zarah pun manfaatnya, lebih baik dibandingkan dengan tidak melakukan apa-apa, setuju?
Gaya bertutur dengan cara story telling merupakan kekuatan tersendiri. Cara seperti ini biasa dilakukan oleh blogger ketika menuliskan pengalamannya di dalam blog. Oleh Ibu Amanda dinyatakan bahwa cara bercerita ini bisa dijadikan bagian dari solusi untuk krisis iklim.
Fakta dan data saja tidak cukup. Untuk mendapatkan perhatian dan membuat orang mengerti, diperlukan cerita yang menarik dan menggugah. Hal ini juga dilakukan Nicholas Saputra, aktor hits kebanggaan Indonesia, saat memproduksi film dokumenter berjudul "Semesta".
Film ini menggambarkan perubahan yang telah terjadi di alam melalui perspektif berbagai kepercayaan dan agama di Indonesia. NicSap tertarik membuat film tentang krisis iklim ini dengan alasan bahwa sinema merupakan alat yang sangat ampuh untuk membawa penontonnya menuju perubahan. Film dapat memaku perhatian orang selama lebih dari satu jam melalui permainan emosi.
If you aim to do good, do not start with the pursuit of financial gain, as that could lead to disaster. (Nicholas Saputra, kutipan dari film Semesta)
Lebih lanjut lagi, NicSap mengatakan bahwa krisis iklim umumnya hanya disuarakan oleh ilmuwan, birokrat, aktivis dan politisi. Makanya ia mencoba mengangkat isu yang terlihat abstrak bagi sebagian orang ini menjadi kisah dengan perspektif yang berbeda agar menyentuh hati masyarakat Indonesia.
Coba deh bayangkan, jika tidak mencatat detail peristiwa yang dialami, bagaimana mungkin Ibu Amanda bisa secara runut menyampaikan perjalanan hidupnya. Mulai dari awal memilih jalur pendidikannya, hingga akhirnya bisa melakukan banyak hal terkait isu-isu lingkungan, baik ketika bekerja di instansi pemerintah, menjadi narasumber di berbagai acara internasional, bahkan bisa menuliskan berbagai aksi nyata para pesohor untuk mendukung aksi lingkungan.
Buku ini bukan sekadar catatan pribadi seorang Amanda Katili Niode. Dalam Dekapan Zaman-Memoar Pegiat Harmoni Bumi bisa lebih diartikan sebagai sebuah ajakan bagi pembacanya untuk melakukan perubahan. Krisis iklim yang menghempas dunia merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan Bumi untuk generasi berikutnya.
Apakah teman-teman terpanggil untuk menjadi agen perubahan terkait krisis iklim? Kuatkan tekad dan bacalah memoar yang ditulis Ibu Amanda Katili Niode ini untuk menyerap lebih banyak inspirasi dari beliau yang telah berkiprah selama puluhan tahun di bidang lingkungan.
Ini kesekian kalinya saya membaca ulasan Dalam Dekapan Zaman. Bahkan saya juga lihat woro-woronya di Instagram. dan setelah membaca berbagai ulasan, buku ini sangat bagus, ya. Bagaimana kita disadarkan untuk selalu bijak dalam menjalankan berbagai hal dalam kehidupan ini. Termasuk kaitannya sangat erat kehidupan manusia dengan alam dan lingkungan sekitar.
ReplyDeleteBuku yang luar biasa. Jadi legacy untuk publik khususnya para pegiat harmoni bumi seperti Ibu Amanda. Kita juga diajak untuk menjejak pengalaman beliau selama puluhan tahun mengikuti berbagai aktivitas yang berurusan dengan pelestarian bumi dan perubahan iklim. Semoga langkah-langkah beliau bisa diikuti oleh generasi penerus bangsa agar bumi tercinta tetap lestari.
ReplyDeleteMemang akan lebih baik bila memulai rasa cinta terhadap alam tuh dimulai sejak dini sekali. Misal, seperti Ibu Amanda Katili dari ayahnya yang selalu menghargai pendapat sang putri.
ReplyDeleteJudul bukunya manis banget. Awalnya kukira ini novel romance ternyata bukan ya. Ini buku non fiksi. Menarik nih, Bu Amanda mengajak masyarakat untuk lebih perhatian dan cinta bumi.
ReplyDeleteBuku ini benar-benar menginspirasi! Perjalanan Amanda dalam memperjuangkan lingkungan sangat menggugah hati. Kisah-kisahnya mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga bumi. Terima kasih, Bu Amanda, atas dedikasimu!
ReplyDeleteKiprah Bu Amanda ini cakep ya untuk lingkungam, sehingga jadi inspirasi buat kita untuk serius bagaimana melestarikan bumi
ReplyDeleteBagus banget bukunya, mengajak kita untuk selalu menjaga dan merawat bumi. Tidak perlu langsung dengan kegiatan yang besar, di mulai dari hal kecil yang bisa kita lakukan. Mungkin terlihat seperti tidak berpengaruh, padahal bisa berdampak besar bagi bumi.
ReplyDeleteBeberapa tahun ke belakang, rasanya bumi sedang tidak baik-baik saja ya, Mbak. Di daerah tempat tinggalku malah baru-baru ini ada himbauan memilah sampah, karena TPA sudah penuh, malah sempat meledak karena pekerjaan memilah sampah memang gak semudah itu.
ReplyDeleteSemoga ada banyak ibu Amanda di luaran sana yang mau berbagi ilmu sekaligus kesadaran tentang harmoni bumi.
everyone must read this book!
ReplyDeleteBanyak yang ingin berkontribusi menjaga bumi, tapi bingung harus mulai dari mana. Baca buku ini bisa jadi banyak insight dan motivasi untuk memulai aksi semampu yang bisa kita lakukan
Buku yang inspiratif, buku ini wajib dibaca oleh siapa saja, mengingat negara kita masih darurat sampah sampai sekarang. Meski sebenarnya kalau bicara soal lingkungan tidak hanya berhenti di soal sampah. Tapi, bagi individu Indonesia, masalah sampah ini masih jadi PR karena menurut saya masih banyak yang buang sampah ke tempatnya saja tidak bisa. Saya yakin, buku ini akan bisa menggugah hati pembacanya dan dapat memberikan gambaran utuh tentang bagaimana menjaga alam senyara menyeluruh.
ReplyDeleteHal kecil sering kali dianggap tifka berharga dan tidak berdampak, padahal sejatinya dari hal kecil yang dilakukan secara konsisten itu akan membuahkan hasil ya
ReplyDelete