Antara Sinagoga, Teroris dan Cinta Sejati


Kita berarti membiarkan tetangga kita perutnya sakit karena lapar, sementara kita tidur kenyang. Itu sebuah dosa sosial. Nabi Muhammad Saw sangat tidak menyukainya. ~ Ayat-Ayat Cinta 2 hal. 137

Saya terhenyak saat membaca penggalan kalimat yang tersaji di dalam novel Ayat-ayat Cinta 2 karya Kang Abik ini. Begitu lembut, begitu penuh cinta kasih.

Terus terang saya bukan pembaca buku pertama Ayat-ayat Cinta ini, jadi benar-benar tidak tau apa yang terjadi pada kisah sebelumnya. Pertama kali melihat novel tersebut tak ada sedikit pun gerakan hati untuk mengadopsinya, apalagi melirik untuk membacanya. Kenapa? Apa yang terjadi sehingga saya memutuskan seperti itu saat pertama jumpa dengan karya Kang Abik (Habiburrahman El Shirazy)?

Tebal. Dan tentunya akan sangat dingin ceritanya mengingat settingan Islami yang tersemat kuat dan terpancar megah dari cover bukunya. Saya sudah membayangkan akan dicekoki berbagai dalil dan aneka dakwah berkepanjangan.

Jangan marah dulu wahai penulis, penerbit, editor maupun kawan penyuka tulisan Kang Abik. Itu tadi kan kilas balik saat pertama melihat novel ini. Begitu saya membaca langsung buku keduanya, dan baru masuk di beberapa puluh halaman pertama, penyesalan bertubi-tubi datang. Kenapa saya tidak membaca buku pertamanya sejak dulu?

Kutipan di bagian awal tadi saya ambil dari novel AAC2 saat Fahri Abdullah (tokoh utama di novel ini), lelaki Indonesia yang sedang menyelesaikan postdoc-nya di Edinburgh Skotlandia, mencoba membagikan pemikirannya kepada Paman Hulusi (teman, supir pribadi, dan asisten pribadinya). Fahri menolong seorang nenek tua Yahudi yang kelaparan karena sejak siang tidak makan. Tindakannya memberi makan nenek tersebut semula ditentang oleh Paman Hulusi yang antipati dengan orang Yahudi.

Kisah pahit Holocaust maupun pembantaian muslim Hebron oleh Baruch Goldstein memang merupakan sejarah gelap yang berhubungan dengan kaum Yahudi. Pada Holocaust kaum tersebut mengalami derita luar biasa akibat kekejaman Nazi, namun aksi Goldstein membantai muslim di Masjid Hebron menunjukkan hal sebaliknya. Adanya kepercayaan bahwa orang Palestina, Arab dan muslim pada umumnya harus dimusnahkan tak bisa lepas dari tafsir kitab. Semata-mata soal tafsir.

Fahri dengan tegas bisa membedakan antara sejarah kelam ini versus praktek hidup keseharian yang harus berdasarkan ajaran kasih sayang Nabi Muhammad Saw. Meski dalam kesehariannya ia dituntut untuk terus berpikir logis berkaitan dengan studi maupun bisnisnya di daratan Inggris Raya yang kian berkembang, namun keimanan dan kecintaannya pada Allah SWT terus menuntunnya untuk memahami dan menjalankan hakiki manusia sejati. Cinta dan kasihnya kepada sesama umat manusia tak terbendung oleh perbedaan akidah.

Saat menemukan bagian awal di buku ini tentang bagaimana Fahri merindukan Aisha (istrinya), saya tak henti-hentinya penasaran, ada apa dengan Aisha ya? Beberapa teman baik yang katanya sudah membaca AAC pertama pun tak lepas dari berondongan pertanyaan saya, ada apa dengan Aisha? Mereka bilang Aisha tidak kenapa-kenapa, Fahri dan Aisha hidup happily ever after layaknya dongeng.

Loh kok bisa? Lantas kenapa Fahri selalu tampak memanjatkan doa untuk istrinya? Ia mendoakan agar dimanapun istrinya berada, entah sudah meninggal atau belum, Allah selalu menjaganya. Nah, bikin kepo kan yaaa....

Fahri mengalami lika-liku kehidupan yang cukup beragam. Mulai dari ditinggal Aisha, dimusuhi tetangga sebelah rumah dan dibilang muslim itu teroris, hingga kerelaannya mengantarkan Nenek Catarina yang beragama Yahudi untuk beribadah sabat di sinagoga. Belum lagi saat dia harus juga memikirkan cara untuk mengatasi stigma bahwa muslim di Eropa itu hanya hidup sebagai parasit. Ini akibat banyaknya pengemis yang mengenakan jilbab tersebar di seantero UK.

Saat mendekati penghujung kisah di buku ini, saya terhenyak makin dalam. Sinagog. Tempat ibadah kaum Yahudi inilah yang kemudian saya renungi sebagai salah satu dari rentetan benang merah di dalam kisah ini. Betapa banyak aksara penting yang ada di buku AAC2 ini bersumber dari sana. Ada kasih sayang tak terkira maupun kebencian brutal yang melanda akibat salah persepsi yang berlarut-larut dari generasi ke generasi.

Tinggal di Kawasan Stoneyhill Grove, Musselburg yang berjarak sekitar 6 mil dari Edinburgh, Fahri menghadapi kompleksitas hidup bertetangga yang dinamis. Sebagai kaum minoritas di negara asing, jauh dari tanah kelahirannya Indonesia, Fahri tidak menemui hambatan yang berarti dalam menjalankan ibadah maupun menyebarkan kebaikan dari agama yang dianutnya. Sebagai filolog yang mendalami studi kajian Islam maupun agama-agama lainnya, Fahri telah melahap habis berbagai tafsir yang berhubungan dengan itu. Masalah yang muncul dari tetangganya yang suka menulis di kaca depan mobilnya ISLAM = SATANIC, MOSLEM = MONSTER, MOSLEM = TERORIST pun dianggapnya tak berarti. Dengan sabar Fahri menunggu untuk tau siapa si penulis 'pesan cinta' itu sekaligus menyadarkan sang penulis bahwa hal itu tidak benar.

Keheroikan Fahri dalam menyelesaikan semua masalah yang dihadapinya terasa sekali di novel ini. Fahri dengan ikhlas dan sekuat tenaga mengeluarkan banyak uang yang dimilikinya untuk membantu para tetangganya. Mulai dari menolong Jason si pengutil coklat di minimarket milik Fahri, membiayai sekolah musik Kiera (kakak Jason), hingga membeli rumah Nenek Catarina yang membuatnya harus merogoh kocek cukup banyak, hanya agar nenek tua yang rapuh itu bisa menikmati kebahagiaan di hari tuanya.

Tindakan Fahri yang jor-joran dalam menyelesaikan masalah melalui pertolongan uang ini sempat dikritik dengan tajam oleh Paman Hulusi.  Namun Fahri tetap meyakini jalan dakwah yang diambilnya itu telah sesuai dengan ajaran junjungannya Nabi Muhammad Saw dan para sahabat rasul tersebut. Saya sendiri sebenarnya gemas dengan solusi yang diambil setiap kali ada masalah terjadi. Terasa sekali betapa mudah Fahri mengambil keputusan untuk membayar ini itu setiap kali ada masalah. Mungkin di dunia nyata memang perlu ada orang-orang semacam Fahri ini, yang memberikan kontribusi terhadap perbaikan akhlak manusia dengan sumbangan dana yang berasal dari kelebihan harta yang dimilikinya. Pesan juga nih bagi para orang kaya untuk memanfaatkan harta bendanya di jalan Allah.

Berbekal kesabaran yang ditunjukkan penulis dalam sifat Fahri, saya pun ikut-ikutan bersabar mengikuti jalan cerita novel setebal 690 halaman ini. Phew, saya jarang sekali tertarik membaca buku setebal itu. Pertama melihat AAC2 ini pun saya tak yakin mampu mengikutinya hingga purna. Paling nanti saya baca sekilas saja, yang penting tau endingnya.

Ternyata sebagai pembaca lamban namun penuh keingintahuan, akhirnya saya tunduk pada keinginan untuk mengetahui kisah secara lengkap tanpa mengurangi satu pun detilnya. Saya memutuskan untuk membaca buku yang penuh kalimat indah nan menenangkan ini tanpa buru-buru membuka halaman terakhir. Saya ikuti terus kisah demi kisah yang dipenuhi dengan sebaran hal-hal penting yang wajib diketahui oleh muslim secara khusus, pengetahuan yang juga bermanfaat bagi umat manusia di dunia secara umum.

Ada pembahasan tentang Amalek pada ajaran Yahudi, ada juga soal penemuan seorang non muslim yang menyatakan "Kalian menyatukan Hari Raya Idul Fitri saja tidak bisa". Terus terang ini jleb banget untuk saya. Selama ini saya sendiri tak pernah mempersoalkan perbedaan 'kubu-kubu' yang menentukan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri di hari yang berbeda di tanah air ini. Ternyata anggapan dari pihak luar tentang hal ini pun perlu kita perhatikan meskipun kebenaran dari masing-masing pihak ada dasarnya.

Al-Islamu mahjuubun bil muslimin, Islam tertutup oleh umat Islam. Ini diartikan sebagai tidak sinkronnya ajaran Islam dengan perilaku muslim dewasa ini. Banyak sekali muslim yang tidak menjalankan syariat agamanya dengan benar. Ya, meskipun ini terasa bagaikan tamparan pedas, saya pikir penulis berusaha menempatkan porsi yang seimbang antara penjabaran keagungan ajaran Islam dengan berbagai koreksi di sana-sini yang semata-mata untuk perbaikan secara intern.

Kembali kepada tokoh utama novel ini, Fahri Abdullah, kisah kesuksesannya menjadi pengusaha ternyata tak secemerlang kehidupan percintaannya. Setelah istrinya hilang di Palestina dan tak tentu rimbanya hingga kini, tak sedikit anjuran dari para sahabat maupun gurunya agar dia mau menikah lagi. Masa berdukanya sudah cukup lama, Fahri dianjurkan untuk segera menyempurnakan lagi separuh imannya dengan menikah. Bahkan calon-calon istri berkualitas telah ditawarkan kepadanya. Namun entah mengapa bayang-bayang Aisha istrinya yang hilang itu terus mengisi setiap rongga kerinduannya.

Setelah melalui jalan berliku, Fahri akhirnya sanggup melabuhkan hatinya kembali kepada perempuan. Ia menikah untuk ketiga kalinya, kali ini dia menikahi Hulya yang tak lain adalah adik sepupu Aisha. Sama cantiknya, sama pintar bacaan Al Quran nya, pun sama-sama piawai melantunkan nada-nada indah melalui gesekan biola. Meski di awal pernikahan bayang Aisha masih belum juga beranjak dari kalbu Fahri, lama kelamaan rumah tangganya berangsur membaik. Bahkan kehadiran buah hati mereka Umar Al Faruq makin memperkokoh ibadah mereka melalui cahaya cinta Ilahi.

Sepertinya Fahri memang tak bisa lepas dari nasib untuk terus kehilangan istri yang dicintainya. Dalam salah satu perjalanan, Hulya yang harus memainkan biola di salah satu konser, secara tragis mengalami insiden. Saat mencoba menyelamatkan sahabatnya yang hendak dilecehkan oleh seorang pria mabuk, Hulya justru ditikam pisau secara brutal oleh lelaki tersebut. Kondisinya kemudian kritis di rumah sakit. Saat ia tersadar barang sekejap, Hulya minta doa dari suami dan seluruh keluarganya, minta agar semua kesalahan dimaafkan. Sungguh, saat membaca bagian ini saya terpaksa menyiapkan berlembar-lembar tisu.

Dalam salah satu wasiatnya, Hulya meminta apabila ia meninggal nanti, ia ingin wajahnya dipindahkan ke wajah Sabina, pembantu sekaligus pengasuh Umar yang telah dijadikan ibu angkat selama ini. Sabina adalah perempuan yang dipungut Fahri saat bergelandangan dan mengemis di Edinburgh Central Mosque, tempat Fahri biasa menunaikan shalat-shalat wajibnya. Demi menjaga citra muslim yang tak sepantasnya menjadi peminta-minta, Fahri menampung Sabina dan ketika ia menikah dengan Hulya, Sabina lah yang banyak membantu Hulya mengatasi berbagai problem rumah tangganya.

Sabina memiliki wajah yang cukup buruk, entah derita apa yang harus ia alami sehingga wajahnya bisa sedemikian rusak. Namun di balik wajah yang buruk rupa itu, tersimpan kesalehaan seorang muslimah sejati. Baik Fahri maupun Hulya mengakui kebaikan Sabina ini. Bahkan anak mereka Umar pun lengket luar biasa kepada Sabina yang dengan lembut dan sabar mengajarinya mengaji hapalan beberapa surat pendek.

Dalam kondisinya baru tersadar dari komanya (dan ternyata hanya beberapa saat saja), Hulya meminta wajahnya ditransplantasikan ke wajah Sabina agar Umar masih tetap bisa memandang wajah ibu kandungnya. Permintaan yang cukup rumit untuk dituruti Fahri karena banyak pertimbangan agama.

Lalu bagaimana kelanjutan drama kesedihan beruntun yang terus dialami Fahri dalam kehidupan percintaannya ini?

Ada satu kisah tersembunyi yang sudah saya curigai dari awal. Saya yakin sekali bahwa Fahri akan bertemu lagi dengan Aisha istrinya. Petunjuk yang diberikan penulis soal dimana Aisha berada sangat kentara terlihat oleh saya. Membaca kalimat demi kalimat di buku ini membuat saya tak sabar kapan keberadaan Aisha ini akan terungkap, bahkan setelah Fahri memutuskan untuk menikahi Hulya, gadis cantik keturunan Turki yang sama indahnya dengan Aisha, baik dari segi fisik maupun keimanan.

Silakan membaca karya apik Kang Abik ini yang memberikan wawasan luar biasa tentang dunia keIslaman yang ternyata telah diakui di seluruh penjuru dunia. Melalui Fahri Abdullah, sang penulis berusaha menyampaikan bahwa ajaran penuh kecintaan Islam ini perlu dipahami dengan sebaik-baiknya oleh para penganutnya. Melalui narasi saat debat-debat publik yang menyangkut Islam dimana Fahri menjadi pembicara, sejatinya penulis ingin menyampaikan kepada kaum muslim bahwa sudah sepatutnya muslim terus menjadikan Al Quran sebagai penuntun langkah-langkahnya.

Makin tinggi ilmu, makin banyak harta, bukan berarti harus menghamba materi. Bagi yang masih kekurangan pun segala daya upaya yang kita lakukan untuk menaikkan derajat di mata manusia tetap harus selaras dengan mengutamakan derajat kita di mata Allah.

Wa lal-akhiratu khairun laka minal ula...
Dan akhirat itu lebih baik bagimu dari dunia (AAC2 ~ hal. 13)


Uniek Kaswarganti

Mom of two lovely kids, loves reading so much especially on fiction. She prefers listening Bobby Caldwell, Phil Collins, The Corrs and KLa Project while enjoying her loneliness.

16 comments:

  1. Huaaaaa...ternyata kece gini resensinya. Nggak sabar pengen bacanya eeuyy. Minggu depan bawain yes :)

    ReplyDelete
  2. Sebelumnya aku males banget mau baca, tebelnya itu lho mak, tapi baca review panjang nan keren ini jadi tertarik baca. Tengkyu mak

    ReplyDelete
  3. Wah baru tau klo AAC ada seri keduanya, baca resensinya jadi pengen baca bukunya juga deh

    ReplyDelete
  4. Belum berani baca. Kalo sekali buka langsunf ketagihan kayak maknik bahaya, bisa lupa ada yg owek2 nanti hehe

    ReplyDelete
  5. Uniek, panjenengan sukses buat saya penasaran. Mbok yo aku fiinbox, biar tahu endingnya.

    ReplyDelete
  6. Minat buat ngejual bekas novel ini gak uniek? Tawarin ke aku ya

    ReplyDelete
  7. Wah Mbak Uniek resensinya bagus bikin aku tertarik untuk baca. Sebenarnya aku dulu melihat Fahri itu too good to be true tapi kemarin pas baca resensi Mbak Riawani aku baru sadar bahwa novel ini emang novel dakwah yg berusaha mereprenrasikan sifat2 Nabi ke dalam diri Fahri jadi hal itu wajar jika dia punya sifat yg super sholeh n baik hati.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul Wan, penulis punya misi tersendiri dalam novel ini. Jadi makin paham banyak hal tentang agamaku sendiri setelah membaca buku apik ini.

      Delete
  8. lah dia udah psoting aja, aku belum selesai bacanya mbak. Suamiku yg udah khatam duluan

    ReplyDelete
  9. Aku jadi kepo sama Endingnya, sumpah. Btw, di kehidupan nyata apa iya ada yg sedermawan fahri ya. Dan kepo jg soal wajah yg ditransplantasi, kalo fahri jd kebayang2 terus sm istri ketiga gmn ya. Haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Penulis sepertinya butuh sosok yang bisa merepresentasikan sosok kanjeng nabi di buku ini Noe. Ga pa2, memang harus ada orang baik yang menularkan tauladannya dari sisi mana pun. Punya harta berlebih ya gunanya memang untuk didermakan to?

      Delete
  10. Aku punya AAC yang pertama....Baca resensi ini jadi pingin baca juga...

    ReplyDelete
  11. Sabina itu aisha ternyata mbak?

    ReplyDelete