“Bikin anyaman semudah ini saja tak bisa. Sudah berulang kali diajari, bilang sudah ngerti, giliran praktek meleset terus hasilnya. Kapan kamu bisa bantu aku Laaaah, nyusahin aja kamu ini.”
Begitulah, omelan tiada henti dari lelaki setengah baya yang bertubuh legam itu kudengar tiap hari. Semula aku terguguk di pojok kamar yang hanya berupa ruangan pengap dengan dipan beralas tikar. Namun lambat laun omelannya sudah seperti angin semilir yang masuk ke kuping kiri dan keluar di kuping kanan. Malah tampak kurang sempurna hari-hariku kalau tak terdengar suaranya yang selalu ketus padaku itu.
Aku bingung, kenapa tak ada emak di sampingku. Kata orang-orang dia sudah meninggal. Hanya Pram lah yang sudi merawatku.
Tapi dia bukan ayahku. Ya, itu selalu yang dikatakan Pram padaku.
“Sudah dapat berapa tas hari ini?” tanya Pram dengan suara halilintarnya, membuatku kaget dan tersadar dari lamunan.
“Eh, anu… anu…”
“Anu anu melulu kalau ditanya. Kamu mau makan pake anu?” sergah Pram tak sabaran.
Padahal aku mau menjawab sudah dapat 2 tas anyam dari bahan limbah bungkus plastik. Tapi demi mendengar suaranya yang keras dan wajahnya yang sangar, jawaban sederhana yang sudah ada di ujung lidah langsung lari entah kemana.
“Kamu tuh harus tau ya Lah, aku sudah mati-matian banting tulang. Jadi pemulung kujalani, ada kesempatan nggantiin Lik Rono di lahan parkirnya ya kusamber. Ngangkutin ratusan karung tepungnya Babah Lie ya nggak kutolak. Lantas apa yang bisa kamu lakukan seharian untuk mbantuin aku, ha?”
Semakin dalam kutundukkan kepalaku. Tak mampu membalas sorotan mata yang tajam dan dingin itu. Kulanjutkan mengayam tas pesanan Bu Hasna sembari berharap Pram segera pergi
****
“Ini bayaranmu untuk 5 tas cantik ini ya Cah Ayu,” kata Bu Hasna sembari mengangsurkan dua lembar uang lima puluh ribuan padaku.
“Jangan lupa, berikan segera pada bapakmu. Ibu lihat akhir-akhir ini dia kurang sehat, jalannya makin diseret-seret. Seperti kesakitan. Rawat dia baik-baik ya Romlah.”
Ah, Bu Hasna tak tau. Pram itu bukan bapakku. Kan dia sendiri yang selalu bilang begitu padaku. Aku pun tak berani menanyakan lebih jauh. Kalau dia bukan bapakku, kenapa aku ada di sana bersamanya sejak kecil?
Kutelan saja berbagai pertanyaan itu dalam benakku. Nanti kalau kutanyakan, bisa-bisa malah aku diusirnya. Siapa yang bisa kasih makan aku nanti?
****
“Cuma segini? Beneran kamu dibayar Hasna cuma seratus ribu? Lima tas yang kaubuat itu hanya dihargai segini?”
Aku hanya mengangguk. Lemah. Tak berani menatap mata Pram yang tentunya berkilat-kilat seperti biasanya. Aku ngeri.
“Kamu pasti bohong. Pasti ada lebihannya. Mau kamu sembunyiin ya?”
Menggeleng. Hanya itu yang bisa kulakukan. Pram makin garang, ditariknya badanku dengan kasar, dirogohnya kantung celanaku untuk mencari-cari uang yang dipikirnya kusembunyikan.
“Huh, sudah kamu sembunyikan di kamar ya?”
Pram pun memburu masuk ke kamarku dengan kakinya yang terpincang-pincang. Benar juga kata Bu Hasna, Pram terlihat makin payah. Aku sendiri jarang memperhatikannya, karena setiap kali dia hadir, hanya ketakutan lah yang kurasakan.
Pram keluar dari kamarku dengan raut kecewa. Tentu saja tak bakal dia menemukan sepeser pun uang di sana. Aku tak menyembunyikan apapun darinya. Setiap kali mendapatkan upah dari mengayam tas, semua kuberikan padanya, sekaligus berharap mendapatkan uang jajan yang lebih banyak dari hari-hari sebelumnya.
“Anak tak berguna.”
Kalimat itu dilontarkannya sambil bergegas pergi lagi. Selembar uang dua puluh ribu ditinggalkannya di meja tanpa sepatah kata.
Selalu seperti itu. Fragmen yang makin melekat kuat di ingatanku, yang terus terulang dari hari ke hari. Menebal tiada batas, seperti tebalnya kalutku setiap memikirkan nasibku yang malang ini.
****
Kupandangi ramainya pembeli yang sedang memilih-milih berbagai tas maupun dompet dari recycle materials yang ada di kios handycraftku. Beberapa orang gadis muda bahkan sambil cekikikan mencoba mematut-matut berbagai pernak-pernik rajut di rambut dan kerudung mereka. Kedua asistenku tampak ramah melayani.
Seorang bapak setengah baya sepertinya akan memborong tas tangan dari bekas bungkus white coffee. Mau dijual lagi katanya.
Mira, salah seorang asistenku, mengantarkan bapak itu kepadaku untuk nego harga langsung. Memandang bapak itu membuat ingatanku melayang kembali pada Pram yang 5 tahun lalu berpulang ke haribaanNya.
Setumpuk perasaan tak enak yang pernah singgah dalam hatiku saat berada bersamanya kembali membuncah. Pram, lelaki yang paling kubenci sedunia itu. Dulu.
Dulu aku memang amat membencinya. Tapi itu dulu, sebelum kudengar pembicaraan yang tak sengaja kudapatkan saat duduk di pojokan pasar, saat menunggu nasi bungkus yang belum juga diracik oleh penjualnya. Menunggu sambil terus memikirkan nasib malangku dan berharap tiada henti agar Pram segera mati saja, biar aku tak menderita lagi.
“Tau nggak Mbah, aku sebenarnya kasihan pada Romlah. Sejak kecil dia tidak punya ibu. Hanya berdua denganku saja. Tak pernah kubuat dia gembira. Lebih sering kumarahi dia di rumah. Tapi gimana lagi, kalau tidak dibegitukan nanti dia jadi anak yang manja. Persis kayak emaknya.”
Itu suara Pram. Ya, aku pasti. Suaranya yang serak karena terlalu banyak merokok itu sangat kuhapal sekaligus kutakuti.
Kucari-cari sumber suara itu. Tampak Pram sedang memunguti botol bekas di boks sampah bersama Mbah Dulah. Kuintip mereka dengan hati-hati, aku tak mau jika tiba-tiba Pram melihatku ada di sini.
“Sudahlah Pram, jangan kau salahkan dirimu. Sudah benar yang kamu lakukan. Romlah anak yang rajin. Apapun yang kausuruh dia selalu lakukan. Pulang sekolah tak pernah kulihat dia bermain seperti anak-anak sebayanya. Tak banyak bicara pula anak itu. Hasna pernah bilang padaku kalau Romlah itu sangat berbakat membuat kerajinan. Apapun. Tak hanya menganyam tas. Hasna juga pernah mengajarinya merajut. Cepat mengerti si Romlah itu. Kamu harus bangga padanya.”
Ternyata Mbah Dulah yang sedang bicara dengan Pram.
“Iya, Mbah. Meskipun Romlah bukan anakku, tapi sebenarnya aku sayang sekali padanya. Wajah manisnya itu selalu mengingatkanku pada Marlah, ibunya yang dulu sangat kucintai, namun sekaligus sangat kubenci saat dia selingkuh dengan Ranto. Laki-laki yang pura-pura menawarkan kebaikannya dengan membantu ongkos pengobatan setelah dia menabrakku.”
“Sudah, Pram, tak usah kauteruskan lagi ceritamu itu,” sela Mbah Dulah.
“Biar, Mbah. Biar lega. Aku tak lagi mampu memberikan nafkah batin kepada Marlah setelah kejadian itu. Marlah jadi tergoda pada bajingan tengik itu yang tak henti-henti merayunya. Itulah kenapa Mbah, sampai detik ini aku masih bingung, antara harus sayang atau benci pada Romlah. Dia anak yang baik. Bukan salahnya kalau dia terlahir dari rahim perempuan bejat macam Marlah. Kenapa Marlah harus mati saat melahirkannya ya Mbah, kalau tidak, pasti dia akan bahagia sekali melihat anaknya yang baik, pintar dan penurut itu.”
Tak mampu lagi kudengarkan. Aku hanya ingin pulang, meringkuk di dipan dingin dalam kamarku. Menangis sepuas-puasnya sebelum Pram pulang. Ternyata, lelaki hitam jelek bermulut kasar itu tak pantas kubenci.
Siapalah aku ini yang tak mampu berterima kasih padanya, untuk semua yang telah dia lakukan padaku sejak bayi hingga remaja kini. Ampuni aku ya Tuhan. Ampuni juga emakku.
Pram, aku tak benci padamu lagi. Apapun akan kulakukan untuk membuatmu bangga, bahkan bila aku tak pernah bersenang-senang sekalipun.
Aku akan menguras semua ilmu yang dimiliki Bu Hasna agar aku bisa sukses seperti dia, punya toko kerajinan sendiri. Kau tak akan menyesal pernah merawatku, Pram.
------------
Ide fiksi ini bermula dari hitsnya pembuatan tas dari bahan daur ulang. Ada yang dari bungkus bumbu penyedap, kopi dan kemasan-kemasan lainnya. Iya, hanya dari melihat tas berbahan dasar bekas bungkus white coffee kisah fiksi ini tercipta. Plus dorongan dari komunitas Fiksiana yang pada bulan November 2013 menghelat event fiksi Hari Pahlawan.
Cerita fiksi ini sudah pernah ditayangkan di akun Kompasiana milik Uniek Kaswarganti
Bagus banget, Mbak Uniek saya sampai mewek membacanya. Keren.
ReplyDeletePernah terpikir nulis novel, nggak?
Ini bisa dikembangkan jadi novel :)
Pengin sih mba. Semoga dimampukan untuk menulis sepanjang itu ya mba. Thks.
DeleteKasih sayang tak selalu dlm bentuk kelembutan ya...dan selalu ada latar kenapa seseorang melakukan sesuatu
ReplyDeletewah bagus sekali cerita fiksinya Mbak. Singkat tapi ada plot twist nya. Membacanya penuh perasaan
ReplyDeleteKesal sih sama pram, tapi baca dari akhir, langsung manggut-manggut, dilema juga jadi Pram. Trus cerita lanjutan romlah gimana ya :)
ReplyDeleteSudah ada lhooo kelanjutannya. Di bagian tengah kan udah diceritakan kalau Romlah punya toko sendiri.
DeleteKok bau-bau bawang, hwa!
ReplyDeleteAku udah lama banget gak ngefiksi. Terus cerita kaya gini sebenarnya banyak. Sedih pasti saat yang dicintai selingkuh, eh ninggal anak yang mau gak mau dirawat. Versi ini jadi pengingat juga buat daur ulang sampah
Hahaha... ngakak baca komentarnya Jiah, "Kog bau-bau bawang, ya!"
ReplyDeleteHahaha...
Sempat blank akutu. Lalu ingat, oh, ini pasti mengundang duka.
Dan, terbuktilah!
Keren, Mba Un!
Ibu-ibu yang suka bareng antar jemput anak sekolah di sekolah anak saya juga sejak tahun lalu rajin ngumpulkan bungkus kopi, deterjen atau pewangi sashet. Mereka bikin tas dan dompet. Saya suka ikut juga. Nganyamnya saja hehehe...
ReplyDeleteWah keren nih ibu ibunya teh... Jd bs ikut menjaga lingkungan ya..
DeleteBagus ceritanya mba aku sukses baca sampai tamat... Belum pernah nyoba bikin fiksi saya..hehe.jd kepingin nyoba deh..
ReplyDeletehmm orang baik. mungkin caranya yg berprilaku yg salah. tapi pak e gak mau nunjukkin rasa sayang, takut anaknya jd manja. meski bukan anak kandungnya
ReplyDeletenice story mba..sering memang ya kita membenci sesorang tanpa tau persis latar belakang.
ReplyDeletebtw ini ceritanya terinspirasi oleh kejadian nyataaakah mba? jadi penasaran..ada juga yaa yang mau memelihara seseorang yang bukan anaknya dan memiliki ikatan yang tidak biasa
DeleteEnggak mam, ini murni fiksi berdasarkan imajinasi aja, tidak terinspirasi dari kejadian apapun, meskipun mungkin di luaran sana ada yang seperti itu. ;)
DeleteWah jarang ada yang mau merawat anak hasil selingkuhan gtu huhuhu.
ReplyDeleteIni seperti apa ya kyk saling benci tapi juga saling sayang antara ayah dan anak ya
Waah baru tau segitu baiknya ternyata Pram. Ga mudah buat sayang sama orang yang bikin kita ingat sama masa lalu yang menyebalkan. Nice story, Mbak
ReplyDeleteAku mbrebes mili baca kisah Romlah dan Pram ini hiks
ReplyDeleteSyukur Romlah dah bahagia meski Pram mendidiknya dengan cara yang tidak sepenuhnya benar
Keren Mbak Uniek!
Bagus mba Uniek ceritanya, aku ga pandai berfiksi-fiksi ria mungkin karena aku ga punya daya khayal bagus hahaha.. bikin report aja terus bikin fiksi susah
ReplyDeletebtw Pram pasti berat yah gedein anak yang bukan anak kandungmu huhuhu...
wah keren, hanya dari melihat tas daur ulang bisa tercipta cerpen ini.
ReplyDeleteDalem banget ceritanya, rasa sayang yang tak pernah ditunjukkan
Mbak, ini yang diterbitkan bareng-bareng fiksiana itu kan ya? Yang fiksi hari pahlawan?
ReplyDeleteAku juga ada di buku itu. Antologi pertama. Seneng banget.
Iya, bener banget mba. Daripada ga ada yang baca mendingan kupindahin ke sini aja. ;)
DeleteMbak aku salut sama orang-orang yang gemar membuat cerita, baik itu true story atau fiksi. Salut buat mbak Uniek. Salam kenal ya mbak, btw aku juga punya akun di kompasiana dengan nama bicarahati
ReplyDeleteSalam kenal juga Mba Gina. Dulu sebelum ngeblog saya memang pemimpi kata mba hehehe... Akun K saya udah lama nganggur, cerita fiksinya kuboyong aja ke blogku sendiri ini.
DeleteAduduuuu...sungguh banyak irisan bawang bertebaran di sudut2 kisah ini! Hiks... Jempol, Dik..
ReplyDeleteKeren, fiksi bisa tercipta dari dunia sehari-hari ya. Jadi ingat jaman dulu suka ada giveaway fiksi hadiah seikhlasnya dari blogger2. Asik banget waktu itu benar2 nyimak tulisan teman2.
ReplyDeleteJadi terharu membaca kisah Pram dan Romlah mbak...seakan cerita ini berada di dunia nyata....kadang kita memang salah sangka. Orang yang terlihat kasar dan bengis justru dia yang diam-diam menaruh perhatian pada kita.... sebaliknya orang yang terlihat kalem nyatanya malah jadi penjilat dan suka mengadu domba.
ReplyDeletePlot twist mba
ReplyDeleteKerenn
Ternyata pram begitu ada sebabny
Ternyata oram baikk
Ah saya seolah diingatkn untuk g mudah ketipu dg apa yg kita liat dan dengar
MasyaAllah
MasyAllah Mba Untuk ternyata jago juga ya bikin cerita. Ceritanya bagus Mba. Aku jadi inget cerita masa kecilku dan zaman ABGku. Walau ceritanya ga sama tapi ada kemiripan hihihi. Terus berkarya lewat tulisan Mba. Tulisannya bagus ��
ReplyDeleteTernyata ada alasan kenapa Pram tambah berbuat sadis pada Marlah karena sudah dikhianati ibunya. Bener Marlah anak baik buktinya udah gak benci Pram. Mau lagi lah cerita lainnya mbak, pesen dong fiksi romance :-D
ReplyDeleteSebenarnya Pram enggak benci kok sama Romlah *tim Pram :))
DeleteIya, ntar ada yang fiksi romance, ditunggu yaaa...
iya di akhir cerita baru deh akju tau kalau Pram itu sebenernya sayang sama Marlah. eh tapi Marlah ini jadi anak biologisnya Pram atau selingkuhan Marlah? aku kok jadi lupa lagi ceritanya padahal baru baca kemarin :-D Kabuuuuur
DeleteBtw, anaknya namanya Romlah lhooo... bukan Marlah. :))
DeleteAlus banget alurnya, kak Uniek..
ReplyDeleteAku berharap bisa baca banyak kisah fiksinya kak Uniek lainnya.
Seriuuss...
Gaya bahasanya mengingatkanku akan novel jamanku kecil, yang jauh dari roman picisan, apalagi glamour.
Love kak Uniiieeek...
Merawat seseorang yang sudah dianggap anak itu gak mudah.
DeleteApalagi pernah disakiti pasangannya.
Huuhhu~
Ini bisa jadi dialami nyata oleh sseorang di luar sanaaa...
Dari tulisan ini aku belajar, bahwa inspirasi itu bisa didapatkan dari mana saja ya mba, hal hal yang hitz seperti bungkus white coffee bisa jadi cerita tentang sebuah keluarga.. dan pesan moralnya adalah jangan ada kebencian karena kebencian justru tidak akan membuat kita maju bahkan sebaliknya.. dan memang penyesalan itu selalu datang dibelang, sebaik baik manusia adalah bangkit dari kegagalan ya mbak
ReplyDeleteDuuh sedih bacanya Mbak. Pesannya kena banget. Kisah perjuangan hidup Romlah ini nggak hanya di fiksi tapi ada di kehidupan yang nyata.
ReplyDeleteWah aku kok jadi sedih padahal sebelumnya aku sebel tuh sama si Pram kok jahat gitu dengan anak-anak tapi ternyata ada alasan kuat di balik perlakukan Pram pada Romlah. Syukurlah tidak ada kebencian di antara mereka, aku kok jadi mikir bagaimana nantinya anak-anakku soalnya kadang aku lemah juga dengan mereka...terlalu sayang. Ditunggu fiksi berikutnya ya makkk...
ReplyDeleteJadi inget dulu pas SD suka diajarin praktik menganyam pas pelajaran ketrampilan, tapi aku sedih karena aku gak bisa-bisa, mungkin karena kurang telaten.
ReplyDeleteKesal banget di awal. Kirain akan ada drama orang tua dan anak telantar. Ternyata twist-nya begitu amat.
ReplyDeleteCerpen yang bagus. Nggak nyangka endingnya ternya Pram memang bukan bapaknya Romlah. Btw ide untuk menulis fiksi ternyata bisa muncul darimana saja ya Mbak termasuk dengan melihat tas yang terbuat dari bahan bekas.
ReplyDeleteKisahnya bagus, Mbak. Alurnya juga mengalir, enak dibaca hingga ke akhir cerita.
ReplyDeleteBukan tidak mungkin ada kisah seperti itu di kehidupan nyata.
Bisa dijadiin novel, nih, ayok bikin novelnya, Mbak :)
Mungkin karena pas baca ini, berbarengan dengan nonton Harry Potter, ya. Saya jadi menyamakan karakter Pram dengan Prof Snape. Sebetulnya sayang banget sama Harry/Romlah. Tetapi, juga memiliki alasan untuk membenci. Faktanya di dunia nyata pun rasa cinta dan benci bisa bercampur aduk
ReplyDeletekusuka plot twist.
ReplyDeletesering dari kita ini, nggak melihat kenapa orang lain mau melakukan banyak hal untuk membantu kita. sering dari kita ini, lihat negative-nya dulu sebelum meyakinkan diri bahwa mereka ikhlas membantu kita.
suka sama cerita ini, mbak :)
Fiksi yang manis. Suka dengan ceritanya dan jangan lupa untuk memanfaatkan sampah dan membuatnya bernilai ekonomis
ReplyDeletePram ini tipe tsundere. Galak2 tapi sayang. Ya memang gak mudah kalau keadaannya kaya gitu. Tapi akhirnya ngerti bahwa sayang kadang punya cara sendiri
ReplyDeleteBagus banget mba cerita fiksinya ini kalau di jadikan film juga bagus mbak... Soalnya aku bacanya sampai terkagum kagum... Sukak pokoknya
ReplyDeletebagus sekali ceritanya mbak uniek. pasti berat ya berada di posisi pram karena harus merawat anak dari hasil perselingkuhan, romlah pun juga berat banget hidupnya :(
ReplyDeleteSetuju Mbak, saya juga berpendapat begitu. Pasti berat berada di posisi Pram, memendam benci dan sayang dalam waktu yang bersamaan.
DeleteSuka sama ceritanya dan pemilihan diksinya yang ringan dan bikin seneng bacanya.
ReplyDeleteRomlah kuat dan tegar, meskipun tau emaknya dulu seperti apa. Dan yang lebih kuat lagi adalah Pram. Mana ada kalau didunia nyata kayak si pram ini. Sabarlah pram, Romlah kelak pasti akan membanggakanmu
ReplyDeleteSedih bngt bacanya,, kok gk diterusin mba gmn nasib romlah selanjutnya.. penasaran,,, jd kangen bikin cerpen lagi akuh..
ReplyDeleteLhooo...udah ada mba itu kelanjutan nasibnya Romlah. Yang di bagian tengah itu mbaa ;)
DeleteAduh, kok pakai irisan bawang merah sih. Mataku jadi perih deh. Btw, Mbak uniek jago deh bikin cerpen. Plot twist-nya bikin gimana gitu. Bikin novel atuh Mbak :D
ReplyDeleteCeritanya menyentuh sekali mba. Mengalir dan bahasanya enak dibaca. Ayo lanjutin kisahnya mba jadi novel. ��
ReplyDeleteAwalnya saya benci sama Pram, ngeselin amat sih jadi orang, huh! Tapi in the end jadi kasihan, ya. Mbak Uniek berhasil banget mengaduk-aduk perasaan saya. Huhuhuuu.
ReplyDeleteCeritanya real banget, aku pernah melihat langsung kondisi seperti ini di kampungku. Cuma bedanya kalau di kampungku si anak ini laki-laki. Diurus sama Ibunya, sedang ibu kandungnya juga meninggal saat melahirkan. Ibu kandungnya gundik bapaknya. Ya Allah, Mbak, apik. Natural banget. Sukak aku ama ceritanya.
ReplyDeleteternyata istri pram itu selingkuh sampai hamil lalu anaknya....malah dirawat pram. pantesan sikapnya kasar. bingung jg sih, mau baik itu sebel sama emaknya (walau dah meninggal) dan tp kalo disabarin pram gak pengen jd kayak emaknya
ReplyDeleteNgetwist banget nih mbak cerita fiksinya..heheh kerenn... Bagus juga Ramlah merespon apa yang dia dengar dengan cara positif...Kalo dibikin agak berontak2 gitu...ntar ceritanya jadi lebih panjang lagi kali ya mbak...hehhe..
ReplyDeleteIyo mba, mungkin bisa dilanjutkan jadi novel. ;)
DeleteGood idea mba, thanks.