[Fiksi Uniek] Dalam Pelukan Sahabat


Duh, berat sekali carrier ini. Aneka macam peralatan tim ada di dalam tas yang kubawa ini. Dengan pandangan kesal kulirik ransel kecil milik Mayang. Tadi sempat kulihat apa isinya. Jatah logistik makan pertama dan kedua, sleeping bag dan boneka kesayangannya. Sementara di carrier 70 literku ini bersarang aneka perlengkapan komunikasi, tenda dan logistik hari terakhir. Beban yang memberat seakan membakar bahuku. Juga akal dan emosiku. Semua seakan-akan berjejal menuntut untuk diluapkan dengan gegap gempita. 

Ruli menarikku menjauh dari Mayang. Dia paham perasaanku rupanya. Sejak tadi gerakan dan gelagatku telah dibacanya. Dibawanya tubuh penat ini menuju tanah yang cukup datar. Didudukkannya aku sembari mengangsurkan veldples warna hijau yang isinya tinggal separuh. 

Kutolak tawarannya untuk minum karena aku tau persediaan air sudah sangat menipis. Jalur yang akan kami tempuh nanti masih panjang. Lengkap sudah, paduan haus yang tertahan, deraan penat dan tumpukan amarah pada Mayang yang kian membara. 

 “Kita harus ingat tujuan melakukan perjalanan ini, Nin. Rehatlah barang sesaat. Meski waktu memburu, ruh perjalanan kita perlu digenapkan. Untuk saat ini memaksa terus melaju bukanlah pilihan yang bijaksana.” 

Ruli menatapku dan menyentuh bahuku dengan lembut. Keringat yang mengalir di anak rambutnya memperjelas keletihan fisik dan psikisnya. Sama persis denganku. Hanya saja dia lebih pandai menata perasaan. Veldples hijau yang tadi diangsurkannya kepadaku kembali disimpannya ke kantung ransel. Kakinya yang tak seberapa panjang itu dijulurkannya untuk mengusir penat. 

Di ujung sana Mayang menatapku dengan kebingungan. Dia tak mengerti kenapa aku menatapnya penuh amarah. Kuhela napas, kualihkan pandanganku dari wajah bingungnya. Ingatanku mengembara kemana-mana, berbagai rekaman peristiwa kembali berkelana di pikiranku. Temasuk memori penting dimana aku ngotot untuk membawa serta Mayang ke dalam petualangan ini. Keahliannya untuk melakukan penelitian konservasi alam sangat kubutuhkan. 

Sebenarnya hanya aku dan Ruli saja yang berniat melakukan pendakian di Gunung Kerinci. Berbagai persiapan telah kami lakukan berdua sebagai tim putri pertama dari Semarang untuk menjejak puncak Kerinci yang berada pada ketinggian 3.805 meter di atas permukaan laut. Jauhnya perjalanan dari Semarang menuju gunung tertinggi di Sumatera ini rasanya kurang bijaksana jika tak ada misi lain yang kami emban. Maka penelitian berbasis pengetahuan konservasi alam pun kami ajukan kepada para penyandang dana ekspedisi yang saat ini kami lakukan. 

Gunung yang menjadi atap Pulau Sumatera ini berada di dalam wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) seluas 1.368.000 ha, menerabas batas provinsi Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat. Cagar alam Inderapura dan Bukit Tapan masuk ke dalam TNKS beserta suaka margasatwa Rawasa Huku Lakitan-Bukit Kayu Embun dan Gedang Seblat. Maka tak heran bila TNKS menempati posisi sebagai hidro-orologis yang penting untuk sekitarnya. 

Keanekaragaman hayati yang ada di TNKS jelas berbeda dengan di Jawa, terutama dengan Semarang yang dataran tingginya memiliki kondisi lingkungan yang berbeda. Lagipula di kota tempat tinggalku, kawasan konservasi taman nasional kan tidak ada. 

 Beberapa jenis flora seperti Kantung Semar (Nephents Ampularia), bunga anggrek, dan tumbuhan-tumbuhan tropikal termasuk yang dilindungi di TNKS. Belum lagi aneka fauna yang datanya telah kudapatkan sebelumnya melalui berbagai referensi. Tak sabar hatiku untuk segera berhadapan dengan pengalaman istimewa di “Sekepal Tanah Surga yang Tercampak di Bumi” ini. 

 Kuusapkan kedua telapak tanganku keras-keras untuk mengusir dingin. Angin bertiup lumayan kencang, membuat badanku yang bersimbah keringat terasa dingin. Buyar sudah lamunanku, hasrat untuk segera kembali ke basecamp terasa menyesak. 

“Rul, tak usah lama-lama istirahatnya, ntar keburu malem kita belum nyampai bawah loh. Logistik kita sudah habis semua,” usulku pada Ruli. 

“Oke, kalau sudah siap, hayuk kita jalan lagi.” 

Perjalanan menuruni punggungan Gunung Kerinci yang lebat vegetasinya terasa berbeda sekali dengan saat mendaki sehari sebelumnya. Saat mendaki, yang terasa adalah semangat untuk mengejar puncak secepat mungkin dengan start dari base camp Kersik Tuo. Namun rupanya turun gunung memiliki keistimewaan tersendiri. Kaki lebih cepat gemetaran karena menahan beban badan dan barang-barang. 

Bayang-bayang langit yang mulai temaram membuat kami makin mempercepat langkah. Peristiwa terpeleset-peleset dan tersangkut akar besar yang mencuat dari pepohonan terus terulang. Lagi-lagi aku kesal. Semakin kesal saat melihat Mayang melenggang dengan ringan, tak pernah sekalipun terpeleset. Ransel kecilnya yang berwarna biru muda itu bersih karena pemiliknya tak pernah terjatuh selama perjalanan. Tak seperti aku yang bolak-balik terpelanting dan kemudian berdebam. 

Kembali kami berhenti. Membetulkan posisi carrier dan meluruskan kaki sebentar. 

“Nina, ada barangmu yang mau kautitipkan padaku? Berdasarkan catatanku, setelah pos 1 ini jalanan tak begitu curam lagi. Kemungkinan jatuh kecil. Aku bisa membawakan beberapa barangmu. Sepertinya berat sekali ya?” 

Mayang bertanya sembari membuka ranselnya, mengeluarkan sleeping bagnya, dan membuka lipatannya. Di dalamnya kulihat tablet dan beberapa power bank berukuran besar. Loh… jadi, sejak berangkat dia membawa peralatan itu. Dan aku tak tau. 

“Aku tak berani menawarkan bantuan sejak tadi, Nin. Semua catatan penting penelitian kita ada di tablet ini. Aku takut jatuh. Takut data kita ini nanti rusak,” takut-takut Mayang mengungkapkan isi hatinya. 

Ya Tuhan, bahkan dalam kelelahan dan kondisi tertekan oleh sikapku yang mudah naik darah, Mayang masih berpikiran jernih untuk melakukan kewajibannya. Dia berkata, saat malam tiba dan kami berdua tertidur lelap, dia melanjutkan mencatat. Sebelum memori terlalu cepat memudar, Mayang menuangkan semuanya kedalam catatan. 

Sungguh, baru kali ini aku merasakan malu yang begitu hebat. Ternyata aku sangat egois dan suka menang sendiri. Mayang bukanlah pendaki gunung seperti aku dan Ruli. Sebenarnya wajar saja kalau dia tak perlu membawa banyak barang. Belum lagi ukuran tubuhnya yang memang terbilang kecil. Sangat tak pantas aku menilainya sekejam tadi. 

Sisa-sisa semburat matahari tak nampak lagi saat kami melanjutkan langkah. Kugenggam erat tangan Mayang dan Ruli saat kami telah menapakkan kaki di jalan beraspal selepas melewati batas tanah pertanian rakyat di kaki Gunung Kerinci. Cahaya bulan yang masih pucat menerangi langkah yang tak lagi memburu. Kersik Tuo sudah ada di hadapan, seakan siap untuk memeluk tubuhku dan kedua sahabatku yang teramat penat. 

Aku rindu pada kentang rebus hangat buatan Bu Paryo, pemilik penginapan yang kami tempati. Juga rindu pada pembaringan hangat dan gulingnya yang empuk. Ingin kupeluk erat-erat nanti saat tidur. Seerat pelukanku pada Ruli dan Mayang, kedua sahabatku yang begitu penuh kasih menemani perjalananku yang tak mudah ini. Aku bahagia dan tiada berhenti bersyukur kepada Yang Maha Kuasa masih diberi kesempatan untuk menjelajah salah satu bagian bumi Indonesia yang indah dan kaya akan keanekaragaman hayati ini. Bersama sahabat sejati yang begitu berarti.



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” 
Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com

Uniek Kaswarganti

Mom of two lovely kids, loves reading so much especially on fiction. She prefers listening Bobby Caldwell, Phil Collins, The Corrs and KLa Project while enjoying her loneliness.

54 comments:

  1. Cakeeeeeepppp. Emak pendaki gunung ini emang kereeeeen. Sukak sukak <3

    ReplyDelete
  2. Resensi yang jujur dan ciamik
    Salam hagat dari Jombang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ealah dospundi to Pakdheeee...ini kan bukan resensi ;)
      Salam hangat juga dari Semarang.

      Delete
  3. Habis ini mudah-mudahan kita yang jalan sama-sama, Mak Niek. Amiin. Gawakke ranselku yaa. Hihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin... What porters are for then klo kudu bawa ransel sendiri ? :p

      Delete
  4. itu baru namanya persahabatan, ya :)

    ReplyDelete
  5. selalu kagum dengan pendaki, terutama perempuan. Kalau aku mah, mari hiking ceria saja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dulu aku pendaki mba, sekarang pemanjat... khususnya pemanjat doa

      Delete
  6. ini bagus banget, aku baca berulang-ulang ternyata ini tulisan Mbak Uniek, kupikir review buku ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih ya Astin sudah dibaca berulang-ulang ;)

      Delete
  7. Ninaa...positip tingking dong, nin :p

    ReplyDelete
  8. Wah mak antag satu ini pinter buat fiksi ya. Mantap..... seneng banget baca persahabatan nina, ruli dan mayang.
    Aku ga pernah naik gunung jd ngebayangin aja gimana repotnya jalan dg beban bertumpuk di punggung hehehe

    ReplyDelete
  9. Coba kalo aku yang diajak naik gunung, baru 10 menit pasti sudah ngos2an :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaa...nggak usah 10 menit mba, aku pun klo sekarang 5 menit juga bakalan udah minta bikin tenda, nge-camp aja langsung :D

      Delete
  10. enak punya badan mungil kl gitu ya mbak? tp biasanya badan mungil suka kadhemen katisen apalagi di gunung. eh bener nggak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tergantung teknik menghangatkan badannya sih Bu, yg badan gede pun ada kok yg gampang kadhemen ;)

      Delete
  11. Wah mbak uniek ternyata suka naik gunung,kerenlah,aku mah belum pernah mendaki gunung, baru nyampe curug orok di Garut, ama kemarin ke curug lawe benowo, dan bukit sikunir dan sikidang dieng, waduh pegal bokong, betis deh 😀

    ReplyDelete
  12. Fiksinya banyak infoo, cool mbak nieekk

    ReplyDelete
  13. Cakeeeep banget mba Niek, main hati beneeer

    ReplyDelete
  14. Cerpen kaya gini bikin kangen temen-temen yang suka ngajak ke gunung tapi akunya lemah. Cuma sanggup sekali aja :))

    ReplyDelete
  15. kok aku baca ini jadi berkaca2 kayak keinget zaman smp atau sma gitu, apa karena ada tulisan ransel dan daki, aku suka ikut acara pramuka sm paskibra dulu.

    ReplyDelete
  16. MashaAllah.. Subhanallah.. aku yang baca aja merasa bahagia.. bersyukur banget mba sudah bisa diberi kesempatan untuk menjelajah salah satu bagian bumi Indonesia yang indah dan kaya akan keanekaragaman hayatinya.. sampai usiaku saat ini belum pernah naik gunung lho.. kadang suka iri sama teman-teman perempuan yang sudah beberapa kali naik gunung.. semoga senantiasa sehat ya mba.. begitu pula dengan sahabat-sahabatnya ya mba

    ReplyDelete
  17. Waaaahhh ini kisah nyata kah mba?
    Salut banget saya sama ciwi-ciwi perkasa yang suka berpetualangan di hutan.
    Saya mah udah nyerah duluan, kalau dengar kata mendaki gunung hahaha.

    Meskipun jujur saya juga pengen sesekali merasakan asyiknya berkawan dengan alam, sayangnya pak suami selalu meragukan niat saya.
    Katanya, beliau gak kuat kalau kudu gendong istri naik gunung hahaha

    Mungkin karena itu, saya jadi berpikir ingin mengenalkan alam ke anak-anak sejak kecil, agar mereka tumbuh gak kayak mamaknya ini :D

    ReplyDelete
  18. Salut deh sama perempuan yang jago naik gunung. Soalnya kalau perempuan naik gunung mesti tahan banting ga ngeluh cape, berat di punggung mesrj bisa tahan dan kaki gempor udah jalan jauh mendaki pula. Hehehe. Mesti jam terbang tinggi juga kayaknya. Tapi seru kalo udah sama sahabat, perjalanan terasa ringan. 😁

    ReplyDelete
  19. Saat lelah emosi memang mudah tersulut ya, Dik.. Dan aku membayangkan disamping semua kesulitan itu..ada keindahan alam dalam jangkauan tangan. Ah..foto2 masih adakah? Hehe...

    ReplyDelete
  20. Mendaki gunung memang menyenangkan, amazing ya mba, menyatu dengan alam. Rasanya kalau masih muda saja pengin mendaki lagi kaya jaman kuliah, hahaha

    ReplyDelete
  21. Berasa banget persahabatannya. Sungguh pengalaman yang menakjubkan ya mbk terbawa suasana sama cerpennya

    ReplyDelete
  22. Suka sama diksi dan alurnya...
    Kerinci katanya termasuk tertinggi juga ya mbak? Pasti penulisnya juga pernah kesini hehehe. Keren mbak, ingin ke sana, tapi ngebayangin capeknya....jadi mengurungkan hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Kerinci ini menurut data merupakan gunung tertinggi di Sumatera. Kisah perjalanan ini memang terinspirasi dari pengalaman sendiri. 40% fakta, yang lainnya fiksi yang diolah agar banyak 'bumbu'nya :)

      Delete
  23. Jadi kangen naik gunung. Saya kayaknya tipe Mayang deh kalau naik gunung. Bukan karena bawa perlengkapan penting. Tetapi, memang gak kuat aja kalau bawa beban terlalu banyak :D

    ReplyDelete
  24. Selalu kagum sama para pendaki gunung yang bermental baja itu sih mbak, secara aku cemen banget baru lari keliling lapangan aja udah ngos-ngosan. Lemaah akutu hahaha

    ReplyDelete
  25. Temanya mengingatkanku sama 5 cm, kak Uniek.
    Dan Denny Sumargo.

    Mungkin ini kalau diangkat ke layar lebar, perempuan yang cocok meranin tokoh Nina adalah Raline Syah.
    AHahahha~
    Balik lagi ke Riani yaa...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihiii... sebelum 5 cm tayang, kusudah sampai duluan ke Semeru ;)
      Kece juga kalik ya cerpen ini difilm-in *ngimpiiii... kalik aja ada produser yang nyasar ke artikel ini yak

      Delete
  26. Wah kalo jalan sama mb Uniek asyik nih ada yang bantuin angjatin ransel #kabuuur.

    ReplyDelete
  27. Cakep cerpennya mba, saya tuh suka kagum sama perempuan yang naik gunung perkasa dan gesit aja bayangannya, apalagi liat perempuan yg bawa ransel besar dan panjang, wuih tambah kagum ;)

    ReplyDelete
  28. Perjalanan mendaki gunung dg sahabat memang begitu membekas di ingatan ya, mbak. Saya beberapa kali naik gunung dg teman, baik yg udah dikenal maupun yg baru kenal di lokasi pendakian. Semuanya berkesan :D

    ReplyDelete
  29. Cerpennya keren nih mbak. Pesannya juga nangkep. So jleb banget pas di bagian Mayang membuka Ransel dan terlihat Gadget dan power banknya yang berukuran besar. Jadi ngerasain gimana reaksi tokoh si Aku soalnya juga pernah mengalami hal serupa.

    ReplyDelete
  30. Keren mba..jd inget kadang aku jg ga bs menata perasaan kalau lg capek hiks...hehe..butuh latihan terus..

    ReplyDelete
  31. Wah, baru tahu Mak Uniek jago bikin cerpen. Kepengen bisa deh. Btw, iya, aku pun keingetan masa2 suka naik gunung bareng temen2 kuliah. Aku yang paling macho dan paling kompor ke temen2. Mereka ngira aku jagoan. Pdhl mah kepengen nyerah deh. Umpetin aja deh rasa cape dan ngeluhnya. Malu soalnya paling kompor. :)))

    ReplyDelete
  32. Based on true story nih mba Uniek. Ayok ah saatnya ngenovel mbaa. Tulisanmu apik. Padet

    ReplyDelete
  33. sederhana tapi mataku hangat waktu baca ini, kebayang semua emosi-emosi yagn terkumpul selama nanjak. bete sama teman seperjalanan itu pasti ada yaa, tapi terus nyesel begitu tau kebaikannya :)

    ReplyDelete
  34. Aku pun jadi ikuta merasa ‘hangat’.. kereen mba! Ayo tulis lagiii yang banyaaak

    ReplyDelete
  35. Wah ternyata Mbak Uniek mantap nulis fiksinya. Kaget aku nemu tulisan fiksi di blog ini. Good luck y

    ReplyDelete
  36. Aku selalu suka baca cerita-cerita tentang persahabatan dan pendakian gunung. Buatku, dua hal itu selalu menarik.

    Good luck buat lombanya ya, mbak.. Tulisan bagus ini layak juara!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks Dee... tapi ini tulisan lama lhooo... dan sukses keok tidak ada kabar apapun :))

      Delete
  37. Baca tulisan Mba Uniek jadi kepngin naik gunung karena belum pernah coba seumur hidup :( Btw bikin tulisan cara bikin cerpen dong Mba heheh

    ReplyDelete
  38. Duh baca cerpen ttg pendakian jadi pengen mendaki juga 😊 cerpennya keren kak, seolah tokohnya hidup, sukses yah buat lombanya 😘

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tokohnya yang nulis soalnya, jadi ya penuh penghayatan :))

      Delete