Review Buku: Jadi Anak Pesantren

 

review buku hijab for sisters

Pertama kali melihat buku ini, saya langsung teringat pada segala hal yang terjadi di saat anak sulung saya masuk pondok pesantren. Banyak kisah yang jika diceritakan sekarang bakalan terasa lucu, meskipun pada masanya dulu, putri saya tidak menganggapnya lucu. 

Kayaknya kalau dibikin buku bagus juga tuh kisah putri saya selama 6 tahun mondok hehehe... Makanya, begitu melihat ada novel remaja yang bertemakan anak pesantren gini, saya langsung pengin baca dong.

Apa saja sih yang menarik dari novel Islami remaja ini?



Dikirim ke Pesantren = Dibuang?

Mama sama Papa bener-bener tega! Tasya dibuang jauh-jauh dari rumah, disekolahin di kampung. Di pesantren pula.

Tasya Rahmanita merasakan kedongkolan yang luar biasa ketika papa dan mamanya memutuskan untuk mengirimnya ke Bogor untuk masuk ke SMA sekaligus boarding school. Nggak habis pikir deh ngapain kedua orangtuanya kayak sengaja hendak memisahkannya dengan teman-temannya yang selalu asyik untuk diajak kumpul-kumpul. Mana mereka tidak ngajak rundingan dulu.

Di balik kegundahan dan rasa di-dzalimi yang dirasakan Tasya, sebenarnya papa dan mamanya punya alasan khusus untuk mengirimnya ke Nurul Iman Boarding School (NIBS) di Bogor. Tasya dirasakan terlalu sering keluyuran, nongkrong-nongkrong tak jelas juntrungannya, hura-hura, dan banyak hal lainnya yang kurang berguna untuk kemaslahatan hidupnya.

Dari penggambaran yang ada di novel ini, NIBS sebenarnya sekolah umum yang menggunakan konsep pesantren. Pagi hingga siang digunakan untuk kegiatan sekolah, sorenya untuk ekstra kurikuler, dan malamnya baru ngaji. Mirip banget dengan pesantren dimana putri saya sekolah dulu. Bedanya, yang NIBS ini fasilitasnya bisa dibilang mewah.

Jika putri saya harus menempati satu ruangan besar untuk sekitar 30an santri, di NIBS ini ada lokasi yang dinamakan unit. Setiap unit terdiri dari 3 kamar, ada pantry-nya dan ada ruang belajar bersama yang cukup besar. 1 kamar berisi 4 tempat tidur. Sangat nyaman sih menurut saya, tapi tidak seperti itu yang dirasakan Tasya.

Dalam perjalanan waktu, Tasya mengalami kesulitan untuk berbaur dengan teman-temannya. Jangankan dengan teman satu angkatan, dengan teman sekamarnya sendiri aja dia enggak akur. Terutama dengan Dini, anak Jawa asal Wonogiri. Tasya yang asli Jakarta merasa superior dan menganggap Dini ini anak kampung, terutama setelah tahu bahwa Dini tidak mengeluarkan sepeser pun untuk membayar biaya sekolah dan asrama di NIBS yang super mihil. Dini bisa lolos masuk NIBS berkat beasiswa yang didapatkannya. Bagi Tasya, Dini yang baik dan murid paling pintar di kelasnya ini, hanyalah anak kampung yang miskin dan tidak cocok sekolah di NIBS. Duuuh deekk..

Teman sekamar Tasya yang lain adalah Astri, anak orang kaya juga. Namun tidak seperti Tasya, Astri termasuk anak yang sangat ramah dan disukai oleh semua orang. Satunya lagi Sarah, bule keturunan Jerman yang sengaja memilih untuk sekolah di Indonesia untuk lebih mengenal kebudayaan asal orangtuanya. 

Adaaa aja deh kelakuan Tasya yang selalu mengundang kegemasan di novel ini. Yang jilbabnya diikat kesana kemari biar trendy lah, atau kukunya yang pakai nail art lah, juga hobi bangun kesiangan hingga telat salat Subuh. Hal ini membuatnya menjadi murid yang paling sering ditegur oleh ibu asramanya. 

Perilaku Tasya yang selalu menjengkelkan dan melanggar aturan melulu ini saya rasa gara-gara tidak terima dan merasa dibuang oleh orangtuanya. Padahal loh seandainya saja di dunia nyata Tasya bisa ketemu dengan putri saya, apa yang dialaminya di NIBS itu nggak ada apa-apanya dibandingkan putri saya. Yakali mereka bisa ketemu hehehe...

Segala hal dilakukan Tasya agar dia dikeluarkan dari sekolah. Hanya saja, tidak semudah itu Tasya... 


Pesan Penting untuk Generasi Muda

Berpuluh-puluh tahun yang lalu, saya pernah membaca novel berseri dengan tema anak asrama begini. Yup, yang tumbuh di tahun 80 hingga 90an dan suka baca, biasanya familier dengan nama penulis kenamaan Enid Blyton. Satu dari sekian novel berserinya ada yang berjudul Si Badung.

Kelakuan tokoh utamanya ya persis dengan Tasya itu. Elizabeth Allen namanya. Dia anak tunggal, sama dengan Tasya. Terbiasa hidup nyaman dan tenang, mau apa aja bisa dan dituruti oleh orangtuanya, eeh jadi gagap etika ketika harus berbagi segala macam hal dengan teman-teman seasramanya.

Novel seri Si Badung itu menggunakan setting tempat di Inggris dengan segala budaya yang berbeda dengan Indonesia. Meskipun ada pesan-pesan moral yang coba disampaikan oleh penulisnya, tetap saja gegar budaya itu terasa oleh saya.

Nah, novel karya Mbak Triani Retno ini lebih realistis untuk anak-anak Indonesia. Kebetulan saja menggunakan setting sekolah Islam dalam penyampaian kisahnya. Namun menurut saya, nilai-nilai kebaikan yang ada dalam novel ini bisa diadopsi oleh siapa saja, tidak hanya bagi muslim.


review buku hijab for sisters jadi anak pesantren


Ada salah satu contoh penyampaian pesan yang sangat mengena di halaman 87: 

"Allah pun pasti cemburu ketika tadi kamu salat sementara pikiranmu asyik mendengarkan lagu dari sini," ujar Bu Fatimah sambil mengangkat MP3 player milik Tasya.

Tasya tertangkap basah oleh kakak seniornya menggunakan MP3 player saat sedang salat Subuh. Alasan Tasya sih untuk menghilangkan rasa kantuk yang memberat.

Maksudnya gimana gitu ya salat kok sambil ndengerin lagunya Afgan. Terlalu sadis caramuuuu...

Dari seluruh pelanggaran yang dilakukan Tasya, Bu Fatimah (ibu asrama) paling sedih ketika harus menghadapi kejadian tadi. Poin demi poin pelanggaran terus dikumpulkan oleh Tasya, padahal semester itu baru jalan setengahnya. Tasya sudah mengumpulkan 32 poin dari total toleransi 80 poin pelanggaran yang diperkenankan.

Jika dalam waktu dekat itu Tasya menambah lagi poin pelanggaran menjadi 40, maka jatah libur 2 hari untuk pulang ke rumah tak akan bisa diperolehnya. Waduuuhh... Tasya mau tak mau berusaha menjadi anak baik agar poin pelanggarannya tidak bertambah lagi. Nggak bisa liburan sih bencana bangeeettt...


Ternyata, segala macam disiplin dan ajaran agama yang didalami Tasya selama 3 bulan pertama di NIBS ada manfaatnya juga. Hal itu dirasakannya ketika bertemu kembali dengan sahabat-sahabatnya di Jakarta.

Saat nongkrong bersama mereka, tak satupun dari sahabatnya melakukan salat. Belum lagi ketika lanjut nongkrong sampai malam di cafe, mereka pesan minuman beralkohol dan antara lelaki dan perempuan tak ada batas pergaulannya. 

Dari kejadian-kejadian yang bertolak belakang inilah Tasya mulai menyadari akar kebaikan yang sedikit demi sedikit makin meresap di hatinya.

Suka deh dengan novel remaja ini. Tidak sekadar menceritakan tentang dunia ciwi-ciwi yang taunya tentang hepi-hepi saja. Dalam usia remaja pun mereka bisa menentukan pilihan hidupnya, mau yang berkualitas atau tidak. 

Coba deh teman-teman baca novel teenlit Islami karya Mbak Triani Retno ini. Alur cerita, pilihan diksi hingga konflik yang terjadi di dalamnya relate banget dengan anak remaja perempuan jaman now. Novel ini bisa dibaca oleh remaja maupun orangtua. 

Buku ini bisa didapatkan di Gramedia atau bisa pesan langsung ke penulisnya. Nggak rugi baca novel ini. Selain menghibur ada juga nilai-nilai positif yang bisa kita ambil. Keren deh... penulisnya bisa merangkai kisah Tasya dan teman-temannya ini dengan asyik dan mudah dipahami.

Menurut teman-teman gimana, pengin baca juga buku ini?

Uniek Kaswarganti

Mom of two lovely kids, loves reading so much especially on fiction. She prefers listening Bobby Caldwell, Phil Collins, The Corrs and KLa Project while enjoying her loneliness.

13 comments:

  1. Seru juga ya, kisah Tasya selama sekolah di NIBS ini. Pastinya banyak sekali banyak pesan yang tersirat dari apa saja yang dilakukan. Dan sebenarnya, anak masuk pesantren bukan karena dibuang, justru orang tua ingin anaknya lebih baik lagi.

    ReplyDelete
  2. ini sering terjadi di dunia nyata, dimana anak mengira dimasukkan pesantren itu artinya mereka dibuang, padahal aslinya orang tua mereka ingin mereka memiliki akhlak dan pribadi lebih baik lagi

    ReplyDelete
  3. Wah buku karya teh Eno, sepertinya menarik sekali. Bener Mbak, pas baca ulasannya kok jadi ingat buku si Badung, cuma setting dan waktunya beda.
    Nahh daku tuh belum pernah sekolah di pesantren / ikut pesantren kilat. Jadi penasaran dengan buku ini.

    ReplyDelete
  4. Ya ampun Tasya. Kamu sekolah di pesantren kayak NIBS tuh nyaman banget. Sekamar asramanya cuma 4 orang.

    Aku dulu juga tinggal di pesantren. Memang pesantren modern. Tapi, sekamar mirip kayak putrinya Mbak Uniek. Isinya 30 orang.

    Udahlah, pas tidur kayak pindang.

    Tapi iyalah. I feel you, Tasya. Not me. Tapi, temanku di pesantren dulu juga berpikirnya sama seperti Tasya.

    Dikirim ke pondok pesantren berarti dibuang. Makanya, banyak yang nggak betah dan sering merengek minta pulang ke orang tuanya.

    Jadi pingin tahu deh. Si Tasya ini merengek minta pulang juga nggak ke orang tuanya ya. Selain ya berusaha dikeluarkan dari sekolah dengan semua tingkahnya di pesantren. Hehehe....

    ReplyDelete
  5. Baca ini aku jadi ingat ponakanku juga, sekarang jadi hal lucu kalau ingat pertama kali masuk pondok, kalau dulu jadi hal yang paling drama, haha. Ponakanku sampai ngejar-ngejar mobil kami yang mau pulang ke rumah sambil nangis karena nggak mau masuk pondok, ehh lah kok malah dapat jodohnya di pondok dan sekarang tinggal di dekat pondok. Mana suaminya juga ngajar di pondok. Dah lah lengkap sekarang hidup nya untuk pondok, hihi.

    Tasya ini beneran gambaran remaja pada kebanyakan yang dicap lebih banyak keluyurannya daripada mengenal agama. Banyak banget pesan moralnya ya, apalagi diselipkan juga ayat Al-Qur'an. Wah ini sih para remaja harus banget baca ini.

    ReplyDelete
  6. Smg dgn adanya teenlit Hijab for Sisters ini bakalan menghapus image jelek anak pesantren. Meski yang digambarkan dalam teenlit ini agak beda dgn pesantren konvensional ya. Tp paling tidak, anak pesantren bukanlah anak buangan. Justru anak org kaya, bahkan yang miskin sekalipun jg ingin memasukkan anaknya ke sekolah boarding school spt yang dikisahkan ini.

    Tp emg masukin anak ke boarding school agak mahal ya bun. Tp ya sebanding dgn wawasan dan pelajaran akhlak yang didapat. Smg Tasya dan teman2nya mampu memberikan teladan yg baik buat anak2 Indonesia ya.

    Smg teenlit karya mbak Triani Retno ini laris manis. Amiiin.

    ReplyDelete
  7. Jadi ingat pas kecil pernah dimasukin pesantren dan lgsg pulang pas keesokan harinya. Ga betah banget hidup di sana. Masa satu kamar diisi 30 orang lebih. Mana ga ada kasur dan bantal. Ya ngemper aja gitu kayak pindang diasapin wkwkw.

    Beda bgt dgn kasus Tasya ini yg sekamarnya udh kyk anak asrama elit. Maklum ini sekolah boarding school ya. Jd lbh tertata rapi meski berbiaya agak mahal.

    Smg dgn kehadiran novel ini bakal menghapus image jelek pesantren yang selama ini kita dengar. Smg banyak org tua ga takut lagi masukin anaknya ke boarding school.

    ReplyDelete
  8. Mungkin sekarang mirip seperti barak militer ya. Tempat menampung anak-anak yang bermasalah hehehe... Bukunya menarik niih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Perasaan saya enggak menulis ttg menampung anak2 bermasalah lhooo... Soalnya, salah persepsi seperti ini yg umum terjadi di masyarakat, menganggap pesantren ibarat barak militer utk anak2 bermasalah 😥

      Delete
  9. Anak2ku juga di pesantren. Ada yang kuat sampai selesai SMA, ada juga yg out di semester 2 SMP. Tetep kudu dilihat kesiapan mereka agar pesantren bisa berdakpak baik.

    ReplyDelete
  10. Keluarga kami mengelola pesantren dan memang mengurus para santri itu dinamikanya luar biasa, seperti anak sendiri karena berada dengan kita 24/7.
    Awal-awal masuk pasti ada saja drama proses adaptasi, tapi lama-kelamaan alhamdulillah betahan dan malah prestasinya mulai tampak di berbagai bidang.
    Buku-buku tentang pesantren seperti bukunya Mbak Triatni Retno ini sejatinya harus lebih banyak dipublish dan menjadi bahan bacaan alternatif masyarakat agar dapat memahamkan bahwa dunia pesantren itu memang semenarik itu

    ReplyDelete
  11. Padahal ka Un nulisnya dengan bahasa yang riang yaa..
    Tapii.. entah kenapa, air mataku menggenang.

    Aku jadi inget perjuangan anakku...
    Bulan Juli besok, giliran anak keduaku yang masuk pesantren.

    Bener-bener lika-liku dunia pesantren.
    Mau berapa tahun pun uda di asrama, tetap akan kerinduan rumah dan gak ingin kembali ke pesantren, itu ada.

    Gimana pun, anak-anak pasti lebih seneng tinggal sama kedua orangtua ketimbang di boarding school sebaguuss apapun.

    Makanya kalau sedang ada sesi curhat sama musyrifahnya, akutu suka meweekk..
    Gak ada yang orangtua inginkan selain mendengar kabar anak-anak sehat, sudah mampu beradaptasi dengan baik dan mandiri.

    Lain-lain mah bonus.

    Suka banget sama penulisnya yang menggambarkan kehidupan anak sekarang.
    Hedonisme ini akan terus ada karena dunia digital semakin gencar.
    Jadi benteng terkuat adalah iman dan takwa.

    ReplyDelete
  12. Masya Allah. Makasih banyak ulasannya, Mbaaaak. Izin share link-nya di IGS ya. Aku juga baca komen teman-teman di atas. Makasiiih.

    ReplyDelete