Setiap Perempuan Berhak Bahagia




Judul buku : I'm (Not) Perfect - Walaupun tidak sempurna, perempuan tetap bisa bahagia
Penulis : Dian Kristiani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2013
ISBN : 978-979-22-9465-1
Jumlah halaman : 153
Genre : Non fiksi / Inspirasional

 
    Secara umum pemberian kategori orang bahagia atau tidak itu diukur dari suatu parameter tertentu. Kali ini yang kita bicarakan adalah perempuan. Ya, kebanyakan perempuan kebahagiaannya ditakar dari beberapa hal berikut :
    - berwajah cantik
    - menikah sebelum usia 30 tahun
    - punya pacar atau suami ganteng
    - memiliki anak segera setelah menikah
    - suami punya penghasilan yang bisa dibanggakan

     Mari coba jujur wahai sesama perempuan, benar atau tidak sih selama ini kita juga berpikir seperti itu? Bahkan saat mencoba judge diri sendiri, pernah kan terlintas parameter kebahagiaan dengan salah satu unsur skala di atas?

     Hal-hal simpel namun cukup membebani pikiran perempuan itu lah kiranya yang ingin diangkat oleh penulis buku I'm (Not) Perfect ini. Sangat biasa kan manakala kita mendengarkan pertanyaan semacam ini :
Kapan menikah?
Setelah menikah berikutnya akan ditanya :
Sudah isi atau belum?
Bila agak lama belum hamil maka akan diinterogasi semacam ini :
Siapa yang bermasalah? Sudah berobat atau belum?

    Pertanyaannya sih biasa, atau mungkin malah menjadi kebiasaan untuk ditanyakan. Yang tidak biasa dan membutuhkan ketahanan mental luar biasa adalah saat harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara berulang-ulang, karena yang bertanya tidak hanya satu orang. Bahkan yang lebih mengherankan, pertanyaan itu justru lebih sering dilontarkan oleh sesama perempuan.

    Selain pertanyaan, ada juga beberapa pernyataan yang umum diungkapkan, yang coba dimunculkan si penulis dalam buku ini :

Aku perempuan tak sempurna karena 
tak melahirkan anak-anakku secara normal. 
Kata orang, seorang perempuan bisa dikatakan 
seorang ibu jika ia melahirkan anak-anaknya 
secara normal, bukan lewat operasi.

     Dibilang manja, tak kuat menahan sakit lah, dokternya tak mau repot dan matre lah. Ada saja segudang penilaian yang diberikan kepada si ibu yang 'dianggap' tak mau berjuang untuk melahirkan bayinya secara normal. Seakan ibu yang melahirkan secara normal itu 'grade'nya jauh di atas si ibu 'caesar'. Pengakuan ibu yang terpaksa rela dicap 'bukan perempuan sempurna' tadi serasa mengiris nurani.


Aku bukan ibu yang baik karena tidak
memberikan ASI untuk bayiku

     Itu jeritan dari suatu pojok kota, dari seorang ibu yang karena satu dan lain hal ASI-nya tak mau keluar, sekeras dan seulet apa pun usahanya. Mulai dari minum berbagai jamu pelancar ASI, mengkonsumsi sayur dan buah-buahan maupun minum air banyak-banyak. Maka bertubi-tubilah penilaian dituainya. Dianggap perempuan malas tidak mau menyusui, terlalu memikirkan penampilan agar payudara tidak kendor, dicap kurang gizi sehingga ASI tak keluar, dan sebagainya. Belum lagi akibat tak diberikannya ASI tadi. Anak non-ASI tadi akan 'disumpahi' menjadi anak yang mudah sakit-sakitan, tidak cerdas, badannya kopong (kosong) ataupun terancam diopname di rumah sakit gara-gara susu formula yang dianggap mengandung bakteri. Sungguh nelangsa ya?

Ssst... hati-hati! Dia janda lho,  
bisa-bisa dia menggoda suami kita!"

     Ada pula perempuan yang sibuk melancarkan black campaign terhadap perempuan lain hanya gara-gara status 'janda' yang disandangnya, entah itu karena perceraian ataupun kematian. 
Untuk janda cerai : Pasti dicerai suaminya gara-gara nggak becus mengurus rumah tangga.
Atau yang ini : Oh, suaminya selingkuh? Paling-paling karena dia nggak bisa meladeni suami dengan baik. Judes

Terus untuk yang ber'label' janda ditinggal meninggal suaminya akan terlontar seperti ini :
Jangan-jangan dulu suaminya sakit karena nggak kuat punya istri kayak dia.
Atau begini :
Pernah denger istilah black widow? Itu tuh, siapa pun yang kawin sma dia pasti mati. Ngeri nggak sih punya istri kayak gitu?

    Luar biasa memang saat seseorang mencoba menjadi 'perfect' di atas penderitaan orang lain. Bahkan manakala yang menderita itu sesama perempuan. Padahal siapa sih sebenarnya yang menginginkan nasib seperti itu. Secara lugas si penulis mencoba mengajak pembaca untuk sekedar berempati terhadap kondisi yang dialami oleh seorang perempuan yang tentunya dengan sangat terpaksa menjalani kisah hidup seperti itu, apapun alasannya. Toh kita tak pernah tau alasan di balik semua itu (sebaiknya pun juga tak perlu mencoba mengkorek-korek untuk mencari tau). Satu statement yang sangat 'jleb' saat penulis mengatakan bahwa kita tak pernah tau takdir yang ada di depan. Hari ini kita melancarkan black campaign terhadap para janda. Esok hari kita pun bisa menjadi janda. Mau begitu? Masya Allah, saya pun sampai merinding saat membaca point ini. Meskipun tak pernah memandang sebelah mata kepada teman yang mengalami nasib seperti ini, mungkin di dalam lubuk hati terdalam pernah tersirat sebersit kejahatan hati dengan 'ngrasani' dalam batin. Memberikan judgement tanpa dalil sahih, sekedar memantaskan kelebihan diri sendiri yang tidak mengalami nasib seperti mereka. Sungguh manusia itu sombong sekali ya? 

    Berbagai  problema 'ketidaksempurnaan' perempuan dihadirkan oleh penulis, tak hanya melalui berbagai kalimat yang membuat dahi berkerut. Sering pula celetukan khas si penulis yang lucu juga tak kalah menohok. Memaksa kesadaran kita untuk mengakui sesuatu. Seperti contoh ini, saat datang penyesalan kenapa memiliki pasangan hidup seperti sekarang. Berandai-andai memiliki suami yang jauh lebih baik dari suami kita sekarang.


Aku sih selalu berharap menikah dengan Ari Wibowo, artis sinetron jadul itu. Andaikata aku menikah dengannya, aku bahagia nggak ya? Hmm...mungkin Ari Wibowo-nya yang bunuh diri.

    Pernyataan yang lucu namun mengena sasaran. Mengajak kita untuk menyadari : Marry the man for what he is, not what you want him to be. Agree :)  Saya setuju sekali dengan si penulis. Kita memang semestinya berdamai dengan kenyataan dan pilihan yang telah ditentukan. Toh jodoh kita memang telah ditetapkan oleh-Nya. Tak ada yang buruk, tak ada yang kurang pas. Bukankah lelaki dan perempuan memang diciptakan untuk saling mengisi kekurangan. *tumben wise banget nih diriku :)

Juga saat penulis mencoba mengilustrasikan 'sesuatu' melalui percakapan ringan dengan suaminya.

"Apa kamu nggak suka dengan keadaan sekarang ini? Selalu makan masakan warung, depot, atau restoran? Kamu kepingin makan masakanku nggak?"
Suamiku memandangku serius. "Kalau masakanmu enak, aku mau. Tapi kalau nggak enak, ya mending beli aja dong. Daripada dibuang, mubazir."

    Sungguh membuat tergelak, menghibur sekaligus positive thinking. Bukan karena diriku juga termasuk istri yang 'gagap dapur', tapi lebih pada keprihatinan akan begitu banyaknya perempuan yang stress gara-gara tidak pintar memasak, padahal sang suami tak mempermasalahkannya. Suami (lelaki yang paling mengerti kondisi istri) saja ikhlas menerima ketidaksempurnaan perempuan belahan hatinya, mengapa perempuan sendiri malah dilanda galau berkepanjangan. Belajar untuk menguasai satu dua resep kesukaan suami tentunya lebih mulia, yang penting jangan buat diri kita stress saja. Yang utama tetap saling menyayangi, mencintai dan saling mendukung antara suami dan istri.

    Masih banyak lagi cerita berharga yang dikupas di dalam buku ini. Bagi perempuan single, yang ngaku jomblo, penunggu kedatangan pangeran hati, istri, menantu, mertua bahkan untuk lelaki sekali pun, buku ini recomended lah. Tidak berat isinya, namun dengan tepat open our mind bahwasanya kita hanya perlu bersyukur untuk bahagia. Mensyukuri apapun yang kita miliki saat ini di tengah-tengah ketaksempurnaan yang akan terus melekat pada diri kita.


Anyone can pretend to be a perfect one,
but I prefer to be perfectly happy the way I am

Uniek Kaswarganti

Mom of two lovely kids, loves reading so much especially on fiction. She prefers listening Bobby Caldwell, Phil Collins, The Corrs and KLa Project while enjoying her loneliness.

18 comments:

  1. Unieeek, makasih atas reviewnya. Buku ini memang kutulis dengan berangkat dari pemikiran, bahwa di luar sana BANYAK wanita yang menyembunyikan ketidaksempurnaannya. Pikirku, kenapa harus disembunyikan? Nobody's perfect kan?

    ReplyDelete
  2. tingkiuuuu udah mampir n komen ya mb Dian, eike bangga deh bisa kenal dan bertemu langsung dengan penulis best seller spt dirimu. mugo2 iso ketularan :D

    ReplyDelete
  3. Hihihi walau yang diangkat buku agak serius, tapi aku bacanya sambil ngikik. Ho'oh yo, wong bojone awak dewe wae ndak protes, malah yang diluar protes, pake bosone Soimah wae, Mak, "Masalah buat lo?" *asah golok.

    ReplyDelete
  4. makasih Wuri, yuk jadi perempuan yg lbh empati pd sesama.

    ReplyDelete
  5. Gimana kalau kita bikin geng nggak bisa masak? :D wkwkwk... Sejujurnya, yang paling bikin aku males masak adalah dapur jadi berantakan, cucian perabot makan banyak.... Mending kalau masaknya enak, kalau nggak? *balik nulis wae :p

    ReplyDelete
  6. hehehehee...toss deh klo gitu Fit. aku mending kelayapan seharian deh daripada masak, ini genetically inheritance dari 'granny tilang' *tetep cari alasan :D

    ReplyDelete
  7. Replies
    1. sama donk Nung dengan aku, yg perfect kan cuma Allah SWT, tul nggak?

      Delete
  8. Knp yah org suka ribet ngurusin org lain, Kyanya aku hrs bca nih bukunya Mbak lg bt ditanya Kpn nambah anak? Si kakak udh gede.. Bosen deh tiap hri hrs jwb tu Trs.. Mang kt g pgn?? Kl blm rjki Gmn lg :( Yup.. I'm not perfect.. Nobody does!!!
    Btw.. Klub ibu2 gagap dapur??? Ikuttt donggg ;-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. yg sabar Bunda Nadia, be happy aja lah... hayuukk sini gabung klub ibu gagap dapur yang icip2 mania hehehee...

      Buku ini bagus mb Muna, ringan dibacanya, melegakan pernafasan wkwwkk... malah promosi ki piye ;) serasa kita menjadi bagian dari buku itu deh saat membacanya

      Delete
  9. Menjadi perfect itu impian bersama. Harapannya tak muncul dari diri kita sendiri tapi diinduksi selama pertumbuhan. Orang mengatakan kita sukses kalau memenuhi syarat impian bersama itu. Dan kita senang kalau disebut sukses..
    Tapi tidak seorang manusiapun yang perfect. Karena hidup sendiri tak perfect bagaimana mungkin yang melakoninya berharap jadi perfect? :)

    ReplyDelete
  10. Eh, pengen baca saya maaaak... :D

    ReplyDelete
  11. waah kereen deh bikin ngakak juga merenung, jadi pengin beli bukunya nih

    ReplyDelete
  12. uwoooo uwooo..
    sepertinya artikel ini bisa menjawab mereka yg suka debat ASI vs SUFOR ataupun Ibu Rumah tangga vs Wanita karir.

    Meluncur ke toko buku ah, mau beli bukunya.

    Makasih sharingnya, Mak ^^

    ReplyDelete
  13. Judulnya bikin uhuk uhuk uhuk .....(cengeng)

    ReplyDelete
  14. selamaaaat ya maaak....jagooo nih resensinya...tapi bener, kepo pangkal bencana..dan yang pasti jadi dosa hehehe...lagian kalau hidup terlalu sempurna ngg seruuu aah..yang ada flat et bosan. Justru karena imperfect kita jadi saling menghargai perbedaan..mmuuaaah..

    ReplyDelete
  15. setujuh, kalau masakanku gak enak..ya mending beli deh daripada gak dimakan tho? mubadzir. hehehhe

    ReplyDelete
  16. iya banget, menjadi yang perfect tapi gak bahagia yo sama saja.

    ReplyDelete